Tuesday, October 31, 2006

[Tadarus Puisi # 010] Doa Api yang Minta Disederhanakan

Saya penggemar sajak-sajak Aan M Mansyur. Penyair asal Makassar ini dari sajak ke sajak mengukuhkan gaya berucap yang sederhana tapi tapi selalu bernas. Tak mudah bertahan pada satu gaya, seraya terus menerus menawarkan kesegaran baru dari sajak ke sajak. Aan memilih jalan itu dan ia tampak semakin asyik menempuhnya. Ini salah satu sajak terbarunya: Doa Api yang Membakar Hutan, sajak yang indah, penuh bermakna.


jadikanlah aku lebih rendah hati. matikanlah sebagian besar hidupku.



Matikanlah sebagian besar hidupku? Saya tercenung, ketika baru saja sampai pada baris ini. Hakikat hidup dan mati yang selama ada di jagad raya pikiran saya tiba-tiba terhantam. Terkelucak. Sumur ironi tergali dalam dengan sekali keruk saja. Api tak ada jika dia mati. Tak ada bangkai api. Tak ada mayat api. Abu dan arang adalah apa yang disebabkan oleh api. Ia bukan bekas api. Bukan perkara gampang untuk sampai pada pengucapan sederhana tapi bernas itu: api yang meminta rendah hati itu meminta ia dimatikan saja sebagian besar hidupnya.


kalau membakar adalah takdirku, biarkan aku hanya mengabukan daun-daun kering di kaki-kaki pohonan agar kelak lebih hutanlah mereka.



Pesona sajak ini makin memancar pada bait kedua. Membakar adalah takdir api. Ini semacam pemancing imaji. Pembaca tak akan menolak ini sebab memang itulah takdir api. Karena sadar akan takdir itu dan tak bisa ditolak oleh si api, maka si api meminta agar ia hanya mengabukan daun-daun kering di kaki pohonan. "Agar kelak lebih hutanlah mereka." Dari bait ke bait keutuhan sajak ini amat terjaga, seraya kekomplekan makna dibangun, perlahan-lahan. Salah satunya dengan mengubah kata hutan yang benda itu menjadi sifat. Kata-kata ditransformasikan, dialihfungsikan. Ini salah satu jurus puisi. Dalam puisi ini jurus itu langsung menohok telak.


ceritakanlah kisah-kisah sedih pada langit; tentang anggrek liar yang mati sebelum berbunga, tentang buah-buah yang jatuh sebelum berbiji, tentang burung-burung sesat dalam asap dan kehilangan sarang, agar menangislah ia, agar tumpahlah airmatanya dan hutan bertunas berdaun dan hijaulah kembali.



Ah, manisnya imaji ini. Hujan yang diharapkan diminta dengan sangat sopan. Hujan yang diharapkan dibayangkan sebagai tangis langit yang ikut bersedih karena kisah duka akibat bencana kebakaran hutan. Bencana itu tidak disebutkan. Hanya disarankan dengan indah lewat pengamatan yang tajam pada tubuh hutan: anggrek liar, buah jatuh, dan burung sesat yang jadi korban.


kembalikanlah aku pada tumpukan sampah di kota, pada tungku dapur orang-orang kelaparan, pada aliran darah orang-orang gigil kesepian juga pada sepasang suami istri yang sudah lama tidur saling berbagi punggung.



Pesona itu belum berlalu. Api yang sederhana tidak ingin hidupnya mati sepenuhnya. Ia yang hidup seadanya ingin tetap berguna bila dikembalikan pada sampah di kota, tungku dapur orang kelaparan, aliran darah orang kesepian, dan suami istri yang tak lagi hangat di peraduan. Api tak lagi dilihat sebagai api tapi diluaskan maknanya pada panas dan hangat, sifat yang ia bawa. Apa yang dijajarkan pada bait ini tak sejajar sebenarnya, tapi ketaksejajaran itu menjadikan bait ini indah dan imaji api dan hangat itu semakin indah terasa.


jadikanlah aku lebih sederhana!

Balikpapan, 14/10/06


Sajak yang luar biasa. Sederhana pada kata. Indah pada makna. Tak ada kata-kata rumit dalam sajak ini. Tak ada kalimat-kalimat aneh dalam sajak ini. Tak ada tabrakan-tabrakan imaji yang ruwet. Tapi segalanya terhampar membentangkan keluasan makna. Luar biasa.

Pada Sebuah Songkok

       SEMUA ini hanya terjadi pada sebuah puisi yang usil. Yaitu ketika ia
meninggal dan ingin dikubur dengan tenang. Maka, kepada saudara-saudaranya
yang masih berstatus prasejahtera ia tinggalkan: Warisan Langsung Tunai.

DI lapangan tempat bekas pemungutan suara,
tinggal bilik yang kosong dengan paku yang masih juga
berlumuran darah, bekas coblosan di gambar wajah.
Harapan itu masih terbaca
: semoga nasib orang banyak dimenangkan juga.

Angin ngadat. Langit pucat.
Si Bungsu datang terlambat.


       BERARTI, ketika itu semua warisan telah terbagi. Kebun karet,
burung-burung betet, kitab mantera penjinak jin, koleksi cerita silat Kho Ping Ho,
saham-saham perusahaan, pun lahan kavling kuburan elit.

SI Bungsu akhirnya hanya kebagian songkok. Sebuah. Masih mulus
dan terbungkus rapi dalam kotak kemasannya. "Saudara? Ini belum
pernah dipakai sama sekali ya?" ia tak sempat bertanya.
Kepada lelaki tua (keriputnya pertanda mestinya
ia sudah pensiun lama) petugas kantor pos yang membagikan
kupon warisan, ia minta alamat almarhum di akhirat.
"Maaf, alamat beliau belum jelas.
Masih dihisaf amal ibadahnya. Belum tuntas"

Si Bungsu akhirnya menerima takdir:
"Barangkali memang di songkok ini
ada terselip benih rezeki."

Barangkali.
Kemiskinannya
bisa ia entaskan sendiri.


       DI akhirat, Sang Almarhum belum bisa lengser dari karir
politiknya. Ia ikut pemilihan umum di sana. Cuma ia terganjal satu syarat:
ia tak tahu nomor songkoknya sendiri. Padahal di formulir ia tak boleh
sembarangan menerakan angka. Ia hanya hafal nomor sepatu, ukuran
kemeja dan celana, ukuran merek kondom favorit, PIN kartu ATM di sebelas
bank, bahkan ia masih ingat nomor masing-masing tujuh belas kartu kreditnya.
"Nomor songkok Anda, Tuan?" tanya malaikat, petugas pendaftaran,
yang tak bisa disogok dengan apapun bentuk rayuan dan godaan.
Tapi ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang usil. Lalu apa
soalnya? Lalu apa masalahnya?

SOALNYA, Si Bungsu yang kebagian warisan songkok
tampak sangat sejahtera ketika memakai songkok itu.
Saat menghadiri prosesi pemakaman
ia bahkan diminta membaca talkin.
Berkat songkoknya, ia disangka ustadz spesialis
pembaca doa pengantar perjalanan ke ruang remang kematian.

MASALAHNYA, sejak pemakaman itu,
ia selalu diminta untuk memimpin penguburan
para tokoh-tokoh penting yang putus kontrak kehidupan.
Alias mati. Dan harus dikembalikan lewat kuburan.

DIA bahkan sudah dipesan agar mempersiapkan
doa khusus bagi seorang tokoh amat penting
yang merasa orang-orang masih
menyimpan seribu alasan
untuk mencintainya. Terus-terusan.

"SONGKOK warisan. Songkok hoki.
Berapakah nomor ukuranmu?
Di kepalaku, kok Engkau pas sekali mencloknya."


       SI Bungsu, kini sudah kaya raya. Ia beli sebidang tanah yang luas
tak terkira. Di sana ia bangun Taman Pemakaman "Pintu Surga". Ia pasang
iklan di televisi dan koran: mau mati dengan nyaman? Jauh-jauh hari Anda bisa
persiapkan. Kami sediakan kavling kuburan, bebas banjir dan penggurusan.
Kematian makin praktis. Memang. Masuk surga, cita-cita luhur itu tampak makin
sederhana dan mudah mencapainya. Di gerbang pemakaman ia pasang peringatan,
ia pasang tanda: SILAKAN MENANGISI SEPUASNYA.

       SI almarhum ingin sekali kembali ke dunia fana. Keabadian itu ternyata
tak lain tak bukan hanya ancaman. Juga siksaan. Ia ingin sekali memakai songkok
yang tak pernah sempat ia pakai. Dan mengintip nomor ukuran yang tertera
di sisi dalamnya.

SEMENTARA, saudara yang
menghabiskan warisan, sibuk berdoa:
"Tuhan, kembalikan dia, agar bisa mewariskan
lagi pada kami harta yang tak terkira."


       SI Bungsu malah tenang-tenang saja. "Hidup atau mati sama saja. Yang hidup
toh pasti mati juga. Untuk itu, untukmu dan untuknya, sudah kusiapkan kavling
khusus dengan harga istimewa. Harga untuk keluarga. Sedikit terjangkit kronisme,
toh tak akan jadi apa-apa."

Dari Khazanah Pikiran Rakyat

Tiga Sajak ini:

1. Laut dan Hujan Memandikan Aku
2. Jam Dinding Hadiah Darimu
3. Rumah Berpagar Bunga-bunga

terbit di Khazanah Pikiran Rakyat, Sabtu 21 Oktober 2006.

Sunday, October 29, 2006

Ziarah ke Disneyland

UNTUK persiapan mengikuti lebaran, dia tamasya ke pasar.

TANGANNYA digandeng seorang pengemis buta yang berperan
      sebagai pemandu wisata. Dia pun diajak berkenalan dan
      bersalaman dengan tokoh-tokoh pedagang kawakan. "Silakan.
      Berbelanjalah sampai pingsan. Sampai dompet Anda kewalahan."
      Kepadanya ditawarkan air zamzam asli dari amerika, peci
      bergengsi produksi singapura, kurma segar made in jepang,
      dendeng unta buatan cina dan kemeja model ustadz ibukota.

PULANG dari pasar ia sewa beca. Menyelamatkan belanjaannya.
      Ia lewati jalan-jalan kota yang suasananya sudah sepi. Tak ada
      arak-arakan jemaah takbiran, tak ada dak duk dak duk suara beduk.
      "Wah, saya keasyikan melancong ke kawasan perniagaan. Tak
      sadar Ramadan sudah gantian sama Syawal, bulannya lebaran."
      Lalu sesampainya di tujuan, dia perhatikan rumahnya dengan
      seksama. Ada yang terasa hilang. "Wah, tega-teganya, puasa pergi
      tak meninggalkan sisanya buat saya. Sungguh amat keterlaluan."

LANTAS dihidupkannya televisi. Dia kangen dengan siaran yang
      menemaninya sahur tiap subuh. Di sebuah stasiun yang jarang
      ditontonnya, nampang menteri urusan lebaran dan pelancongan
      serta perniagaan, mengabarkan sebuah pengumuman, "Lebaran
      tahun ini diperpanjang. Dengan kebijakan pemerintah, dan demi
      ketenteraman rakyat, maka kami umumkan sebuah bonus lebaran.
      Dan rakyat miskin mendapat bantuan langsung tunai lebaran."

LALU, televisi menyiarkan pemenang sayembara pelancong teladan
      yang berbelanja paling kesetanan di sebuah pusat pelancongan atau
      sentral perniagaan. Dia lihat wajah yang mirip dirinya sedang
      mendorong beca belanjaan. "Selamat, Anda berhak atas hadiah
      utama, yaitu pergi berziarah ke disneyland bersama artis ibukota.

Kisah Kota Buaya

      KOTA itu dihantui sepasang buaya, keduanya jantan
keduanya betina. Keduanya menebar telur ancaman
di rawa sepanjang tebing sungai yang membelah kota.

      ITULAH sepasang buaya terakhir yang dulu menetas
di hulu. Sungai yang tak lagi sungai sejak pohon-pohon
ditebang lalu dihilirkan lalu dimuarakan lalu ditongkangkan
lalu diasingkan ke negeri rakus pengunyah bubur kayu.

      ITULAH sepasang buaya yang menyantap tangan dan
kaki: menyisakan orang bertubuh buntung bermata buta
berhati kosong bermulut yang selalu lapar menganga.

      SEPASANG buaya itu terus membesar hingga ekornya
di hulu dan kepalanya di muara. Sepasang buaya itu terus
bersanggama dan menelurkan ketakutan. Di rawa-rawa
kota telur-telur itu membesar, cangkangnya menebal dan
bergerak-gerak seperti menunggu saatnya menetas seekor
hewan amat ganas: buaya pemangsa buldoser dan traktor.

      KOTA itu dihantui sepasang buaya, keduanya jantan
keduanya betina. Keduanya selalu lapar: mengira hitam
yang melumpuri sungai adalah merah, warna darah hewan
yang tak sempat marah. Hewan yang dipersembahkan
dalam perjamuan-perjamuan besar para tuan-tuan besar.

      ITULAH sepasang buaya yang menitipkan juga telurnya
di dada peladang, di kiri kanan tangan para pencari rotan.

Saturday, October 28, 2006

Memo Pelukis

      YANG paling menggentarkannya adalah
kanvas kosong: bidang lengang yang suka
membayangkan wajah sendiri. Padahal ia
telah bertekad tak akan pernah mudah takluk
pada bujuk cat dan rayu kuas, sebelum
menemukan letak luka yang ia sembunyikan.
Lalu ia bisa bersabda: akhirnya sembuh juga
luka kita, ya.

Sebuah Kedai di Jalan Braga

       : Kang Kef


ADA sebuah kedai di Jalan Braga. Kedai yang sudah lama
       menyediakan Kisah dan aksesori pelengkapnya: beraneka
       plot, bermacam karakter, berbagai tema, dan segala jenis
       waktu rekaan dan beberapa tempat atau lokasi khayalan.

AKU ingin sekali singgah di sana: belanja kata sepuasnya.

KEDAI itu ditunggu oleh seorang lelaki berhati baik yang gemar
       berbaik hati. Aku ingin sekali singgah di kedai itu. Kata orang,
       di waktu senggang, sang penjaga kedai suka iseng menganyam
       ketupat kisahnya sendiri, lalu mengirimnya ke koran mingguan
       dan berbagai majalah cerita. "Agar rasa lezatnya imajinasi bisa
       dinikmati sambil sarapan dengan harum kopi seduhan sendiri."

AKU ingin sekali sarapan di sana: sarapan kata bersamanya.

Sajak Sebelum Tidur

        : Ikra

SEBELUM tidur, ia senantiasa meminta, "dongengkan puisi untukku."
        Kuturuti saja. Kubaca puisi favoritnya: Anakmu Bukanlah Anakmu.

LALU dia tertidur lelap sekali. Kulihat damai mimpinya jelas sekali.
        Damai yang tak pernah bisa kumasuki. Paling-paling aku hanya
        bisa menyalinnya ke dalam puisi. Yang kelak akan kubaca sendiri.

SETELAH tidur, ia lekas berkata, "Sabarlah, Ayah. Jangan terlalu
        percaya pada kata puisi itu. Saya tahu: Ayahku Tetaplah Ayahku."

LALU ia membawaku ke halaman. Mengajakku main hujan-hujanan.
        "Tenang, Ayah. Puisi yang kau tulis, diam-diam sudah kubaca dan
        kuhafalkan. Kata-katanya abadi: tak akan luntur oleh air hujan."

Friday, October 20, 2006

Maaf

DIA yang jagonya memanjat kelapa
belum bisa juga menganyam ketupat

DIA yang paling tahu memilih bambu
belum juga pandai membakar lemang

DIA yang rajin memelihara ternak
tak tega menyembelih seekor pun

Wednesday, October 18, 2006

 Tempat Bayar Zakat

NAIK pesawat, dia pergi jauh, menuju ke sebuah tempat. Di
bandara, sebelum berangkat, ibunya berpesan, "Nak, Jangan
lewatkan salat, jangan lupa sisihkan umur buat bayar zakat."

DI pesawat, dia mencari-cari penumpang berwajah munir, tapi munir
sudah pergi berjuang melacak jejak orang yang hilang, pergi melacak
keadilan yang hilang, pergi melacak negeri yang hampir hilang.

"ANDA mencari siapa?" tanya seorang pria, seperti intel lagaknya.
"Oh, tidak. Saya sedang mencari diri saya." Dia mencari nomor
kursi kelas ekonomi. Ramai sekali di sini. Sepi sekali di sini.

WAKTU pramugari menawari mi goreng dan jus jeruk, dia
menolak, "Maaf, saya sedang belajar puasa." Waktu pilot
cadangan menawarinya pindah duduk ke kelas eksekutif,
dia pun enggan beranjak, "Wah, maaf, saya di sini saja, Bung.
Anda tidak lihat saya ini musafir yang sedang belajar salat?

DIA akhirnya sampai juga di tempat yang dia sebut dalam niat,
sewaktu pamit berangkat. Di konter informasi pariwisata dia
langsung minta peta, dipelajarinya tempat-tempat mana saja
yang menyediakan mesin isi ulang usia, mengecek masa
berlakunya, dan menghitung berapa zakat umur harus dibayarnya.

"JANGAN sampai lupa dua kalimat password, ya Nak," dia
teringat lagi pesan khusus ibunya, dulu sebelum berangkat.