APAKAH sajak? Sajak adalah apa yang diunggun-timbun jadi rumah. Kata Chairil Anwar, "Kaca jernih dari luar segala tampak." Bagi Subagio Sastrowardoyo, sajak adalah apa yang lahir setelah 'malam yang hamil oleh benihku. Adalah bayi yang dicampakkan ke lantai bumi. Sajak seperti anak haram tanpa ibu membawa dosa pertama di keningnya.
APA guna sajak? Mengingatkan kepada kisah dan keabadian. Melupakan kepada pisau dan tali. Melupakan kepada bunuh diri, kata Subagio Sastrowardoyo. Dan, "Kalau aku mampus, tangisku yang menyeruak dari hati akan terdengar abadi dalam sajakku yang tak pernah mati," katanya dalam sajak lain. Sajak bagi Chairil adalah alamat kemana ia menuju setelah lari dari gedong lebar halaman, dan ketika tersesat tak dapat jalan.
SAJAK bagi Goenawan Mohamad adalah catatan kita bagi dingin yang tak tercatat pada termometer. Ketika kota basah, angin mengusir kita di sepanjang sungai tapi kita tetap saja di sana. Mengamati, mencatat. Seakan gerimis raib dan kita saksikan cahaya berenang mempermainkan warna. Sajak adalah ketika kita merasakan bahagia meski tak tahu kenapa.
TEMA tentang sajak, baik tersurat guratnya dalam sajak atau hanya tersirat seratnya, atau bahkan cuma bisa kita tafsirkan saja salah satunya sebagai sajak tentang sajak, hampir selalu ada ditulis oleh setiap penyair. Mungkin ini sebagai wujud kekariban. Atau persembahan untuk sajak itu sendiri. Chairil, Subagio dan Goenawan yang kita jejaki sajaknya di atas hanyalah sebagian contoh. Cobalah jejaki sajak para penyair lain.
KETIKA menggubah sajak tentang sajak, yang terangkut sebenarnya bukan hanya sajak. Tapi juga hidup yang dihayati oleh penyair. Ya, sajak adalah kehidupan. Keduanya sangat dekat. Keduanya saling ada di dalam keduanya: sajak ada dalam kehidupan dan kehidupan ada dalam sajak. Sajak adalah alat yang bisa sangat bermanfaat untuk merumuskan rumit dan samarnya kehidupan.
SITOK Srengenge, pasti bukan kebetulan jika ia menempatkan dua sajak berikut ini di urutan pertama dan kedua dalam buku berisi 45 sajaknya "Anak Jadah" (Garba Budaya dan KITLV, Cetakan Pertama, November 2000). Dua sajak ini juga menerjemahkan apa peran sajak dan penyair bagi hidupnya dan kehidupan manusia. Sebenarnya selalu ada yang puisi dalam segala sesuatu yang bukan puisi. Dan peran luhur kepenyairan bisa dijalankan oleh siapa saja yang bukan penyair. Sebaliknya penyair yang mengaku paling penyair pun bisa saja menempuh jalan lenceng: keluar dari jalur luhurnya, tak lagi menjadi dan menjadikan rahasia dalam kata, tak lagi menjelma dan menjelmakan tanda atas fana.
Sitok Srengenge
KATA PUISI
                   Layang-layang limbung dalam angin
dan angin lalu lalai dalam angan,
                  barangkali abadi dalam puisi
Tapi puisi bukan limbung layang-layang,
                  bukan angan lalai atau angin lalu
Puisi leluasa hinggap atau terbang,
                  kata-kata punya sayap dan pijakan
                  Gamang di kegelapan, tergenang bayang-bayang
dan bayang-bayang menjadi halusinasi,
                  mungkin imaji dalam puisi
Tapi puisi bukan kegelapan,
                  bukan remang bayang-bayang
Puisi bisa samar atau benderang,
                  kata-kata punya mata dan cahaya
                   Batu-batu beku berlumut
dan lumut lumat dalam mulut berkabut,
                   boleh jadi inspirasi bagi puisi
Tapi puisi tak bisu karena takut,
                   tak kabur ketika kalbu kalut
Puisi berani nyanyi atau marah,
                   kata-kata punya nyali, urat dan darah.
                   1986
Sitok Srengenge
SOLILOKUI PENYAIR
                   ke mana kau mengungsi
jika rumah ini tak lagi bisa dihuni
                   Pergi membawa diri
sadar sudah tak ada rumah bikin betah penyair resah
                   Di mana kau singgah
jika tubuh ini tak lagi mampu melangkah
                   Samadi di sunyi puisi
menjadi rahasia dalam kata, menjelma tanda atas fana
                   Ke mana kau bergulir
jika di tanah tempatmu lahir kau dicibir, diusir
                   Takdir penyair tegak di pinggir:
batas laut dan daratan, di mana rindu akhir berdesir
                   1986
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Thursday, August 31, 2006
Wednesday, August 30, 2006
Segera: Sitok Srengenge!

PERMINTAAN wawancara dengan Sitok Srengenge saya sampaikan lewat SMS. "Kirim lewat email saja," balasnya. Lalu saya kirim enam pertanyaan di bawah ini. Apa jawaban dia? "Tadinya saya akan bercanda dengan meminta Anda bertanya kepada para dosen sastra. Tapi, rupanya, pertanyaan anda memang langsung berkaitan dengan diri saya. Saya akan menjawab semua pertanyaan itu, namun tidak sekarang. Segeralah."
INI pertanyaannya dan mari kita tunggu jawabannya.
1. Puisi Anda "Libido Sangkuriang" diakhiri dengan bait "puisi/di dalam diri/tak seutuhnya/tertampung kata". Saya boleh anggap ini sebagai isyarat atau nasihat, bahwa dalam diri Anda, atau penyair mana saja, atau siapa saja yang merawat "libido Sangkuriang", tersimpan puisi yang lebih dari puisi, yang tak pernah tuntas dipuisikan dengan kata?
2. Dalam puisi-puisi Anda, Anda tampak sangat menikmati permainan bunyi. Anda juga asyik sekali menata tipografi. Pokoknya, semua perangkat sepertinya begitu mahir Anda berdayakan. Apa lagi yang menjadi tantangan Anda ketika menuliskan puisi?
3. Anda tentu tidak terbebani dengan dorongan Sutardji yang bilang tentang Anda, "...ada harapan menjadi penyair besar", kan? Sajak Anda kata beliau telah menemukan kepribadiannya. Sejumlah nama besar lain pun menaruh harapan pada kepenyairan Anda. Anda lebih menganggap itu sebagai hasil atau hak atas kerja menyair Anda selama ini? Atau utang yang harus Anda bayar terus menerus?
4. Dalam puisi "Mosaik Jalan Raya" Anda ada menyebut "penyair melelang puisi", dan "Dan kemanusiaan/jadi kata antik dalam manuskrip sastra yang tak dibaca". Seberapa cemas Anda dengan gejala itu?
5. Anda nyaman dengan kritik yang sudah dibuat atas puisi-puisi dan kepenyairan Anda? Seberapa berpengaruh kritik terhadap puisi-puisi Anda?
6. Terakhir, bisa cerita bagaimana awalnya Anda mengenal puisi? Lalu mencintainya dengan menuliskannya hingga kini? Dan apa artinya menyandang sebutan penyair di negeri Indonesia saat ini? Dan, ini pertanyaan paling merisaukan, menurut Anda, puisi yang baik itu seperti apa atau harus bagaimana?
Tuesday, August 29, 2006
Kisah Kota Darah
TAK pernah ada lagi peta, yang bisa membaca tubuh kota.
SEMUA jalan berubah belokan dan berganti nama setiap kali
ada sekelompok orang bersenjata melintas dan menandai
tiap simpang dengan tombak berhulu tulang dan tengkorak.
TAK ada rambu-rambu, hanya plang kosong berbekas peluru
dan spanduk panjang yang tiap hari seperti dicelup ke darah,
dengan itulah kota ini mendapatkan namanya: Kota Darah.
SAUDAGAR di pasar berbohong soal harga dan asal daging, sebab
pembelanja pun lihai menyulap angka nol di lembaran uang.
DULU pernah ada perang. 24 jam ada yang menabuh gendang.
KINI penduduk belajar berhenti, memasang lagi hati sendiri.
SEMUA kepala telah diserahkan ke Komite Peredam Sengketa
lalu disimpan di Museum Negara, bersama patung para presiden
yang tak lagi diingat namanya. Nanti semua akan dikembalikan
kalau warga kota tahu bagaimana memantaskan otak, dan
faham apa rasanya jadi manusia yang kehilangan muka.
KINI penduduk membiasakan diri berpeluk dan berjabat erat
saling menyentuhkan luka dan menyimak darah berbicara apa
dengan bahasa rasa, saling mengabarkan sakit yang sama.
TAPI, eh masih saja ada sekelompok orang berkepala dua
memberi tanda dengan tombak berhulu tulang dan tengkorak.
SEMUA jalan berubah belokan dan berganti nama setiap kali
ada sekelompok orang bersenjata melintas dan menandai
tiap simpang dengan tombak berhulu tulang dan tengkorak.
TAK ada rambu-rambu, hanya plang kosong berbekas peluru
dan spanduk panjang yang tiap hari seperti dicelup ke darah,
dengan itulah kota ini mendapatkan namanya: Kota Darah.
SAUDAGAR di pasar berbohong soal harga dan asal daging, sebab
pembelanja pun lihai menyulap angka nol di lembaran uang.
DULU pernah ada perang. 24 jam ada yang menabuh gendang.
KINI penduduk belajar berhenti, memasang lagi hati sendiri.
SEMUA kepala telah diserahkan ke Komite Peredam Sengketa
lalu disimpan di Museum Negara, bersama patung para presiden
yang tak lagi diingat namanya. Nanti semua akan dikembalikan
kalau warga kota tahu bagaimana memantaskan otak, dan
faham apa rasanya jadi manusia yang kehilangan muka.
KINI penduduk membiasakan diri berpeluk dan berjabat erat
saling menyentuhkan luka dan menyimak darah berbicara apa
dengan bahasa rasa, saling mengabarkan sakit yang sama.
TAPI, eh masih saja ada sekelompok orang berkepala dua
memberi tanda dengan tombak berhulu tulang dan tengkorak.
Monday, August 28, 2006
Kisah Kota Mimpi
ADA Dinas Permimpian di kota kami: Kota Mimpi.
ADA biro jasa yang menawarkan paket impian. Pesan
saja mimpi instan: jadi manusia penuh kebahagiaan.
Ini mimpi yang paling laris, sepanjang zaman. Para
pelancong pulang bawa oleh-oleh sarimimpi, dalam
botol-botol kemasan, cukup untuk persediaan sampai
mereka datang lagi berwisata melupakan diri ke kota
kami. Kota Mimpi.
SAYA dulu musafir dari kota yang masih terus kulupakan.
DI kota ini semula saya tersesat, tapi lama kelamaan
saya keenakan. Di negeri asal saya miskin, di kota
ini saya kaya: kayamimpi. Di negeri brengsek dulu
saya lajang, di sini saya punya istri paling setia:
istrimimpi. Di negeri kacau dulu saya gelandangan,
di kota ini saya punya rumah: rumahmimpi. Di negeri
nyata dulu ada rambu dilarang bermimpi, di sini
di gerbang kota saya disambut papan imbauan: Selamat
Datang di Kota Mimpi, Anda Memasuki Daerah Bebas
Bermimpi. Oh ya, Anda tak mahir bermimpi? Jangan
takut, ada pegawai kota yang siap mengajari Anda.
Dijamin mimpi Anda tuntas tanpa gangguan terjaga.
YANG paling dicemaskan di sini hanya: Anjing Penjaga!
ADA biro jasa yang menawarkan paket impian. Pesan
saja mimpi instan: jadi manusia penuh kebahagiaan.
Ini mimpi yang paling laris, sepanjang zaman. Para
pelancong pulang bawa oleh-oleh sarimimpi, dalam
botol-botol kemasan, cukup untuk persediaan sampai
mereka datang lagi berwisata melupakan diri ke kota
kami. Kota Mimpi.
SAYA dulu musafir dari kota yang masih terus kulupakan.
DI kota ini semula saya tersesat, tapi lama kelamaan
saya keenakan. Di negeri asal saya miskin, di kota
ini saya kaya: kayamimpi. Di negeri brengsek dulu
saya lajang, di sini saya punya istri paling setia:
istrimimpi. Di negeri kacau dulu saya gelandangan,
di kota ini saya punya rumah: rumahmimpi. Di negeri
nyata dulu ada rambu dilarang bermimpi, di sini
di gerbang kota saya disambut papan imbauan: Selamat
Datang di Kota Mimpi, Anda Memasuki Daerah Bebas
Bermimpi. Oh ya, Anda tak mahir bermimpi? Jangan
takut, ada pegawai kota yang siap mengajari Anda.
Dijamin mimpi Anda tuntas tanpa gangguan terjaga.
YANG paling dicemaskan di sini hanya: Anjing Penjaga!
Sunday, August 27, 2006
Kisah Kota Hujan
POHON-POHON tua, masihkah ia menjaga kota? Masihkah
mengukur musim dan dingin dengan termometer batangnya?
HUJAN telah lama akrab dengan terminal dan angkutan kota.
Para penumpang menempuh perjalanan semalaman. Datang,
dengan ransel, selembar baju, buku, dan bekal sewa kamar
sebulan. Menetap sekejap, hanya untuk sempat bersahabat
dengan bocah pengasong payung. Terlalu banyak pohon tua.
Tangan-tangan yang menanamnya telah keriput dan pergi
bersama usia. Mungkin ada jawaban di perpustakaan balai-balai
penelitian. Tapi, hujan selebat hutan khayalan seharian. Bocah
pengasong payung meringkuk ketiduran, di emperan pusat
perbelanjaan. Bermimpi tentang asrama mahasiswa, ruang kuliah
dan laboratorium kimia, botani, fisika, fisiologi di kampus tua.
POHON-POHON tua, masihkah diam-diam berdoa? Masihkah
menunggu hujan-hujan yang dulu dibisikkan para penanamnya?
OH, itu bayang-bayang mahasiswa dengan jas kerja, meletakkan
cawan di tepi jalan? Menebak apa yang terjebak: spora jamur atau
bakteri? Oh, bukan. Itu rombongan pelancong berburu jajanan!
Bocah pengasong payung tertawa pada rapat hujan. Di jalanan.
Memadatkan jarak dan serak kendaraan. Mencabuti anak rambut
di kening kenangan. Gagang payung-payung gelap disorongkan.
mengukur musim dan dingin dengan termometer batangnya?
HUJAN telah lama akrab dengan terminal dan angkutan kota.
Para penumpang menempuh perjalanan semalaman. Datang,
dengan ransel, selembar baju, buku, dan bekal sewa kamar
sebulan. Menetap sekejap, hanya untuk sempat bersahabat
dengan bocah pengasong payung. Terlalu banyak pohon tua.
Tangan-tangan yang menanamnya telah keriput dan pergi
bersama usia. Mungkin ada jawaban di perpustakaan balai-balai
penelitian. Tapi, hujan selebat hutan khayalan seharian. Bocah
pengasong payung meringkuk ketiduran, di emperan pusat
perbelanjaan. Bermimpi tentang asrama mahasiswa, ruang kuliah
dan laboratorium kimia, botani, fisika, fisiologi di kampus tua.
POHON-POHON tua, masihkah diam-diam berdoa? Masihkah
menunggu hujan-hujan yang dulu dibisikkan para penanamnya?
OH, itu bayang-bayang mahasiswa dengan jas kerja, meletakkan
cawan di tepi jalan? Menebak apa yang terjebak: spora jamur atau
bakteri? Oh, bukan. Itu rombongan pelancong berburu jajanan!
Bocah pengasong payung tertawa pada rapat hujan. Di jalanan.
Memadatkan jarak dan serak kendaraan. Mencabuti anak rambut
di kening kenangan. Gagang payung-payung gelap disorongkan.
Friday, August 25, 2006
[Ruang Renung # 164] Bicara Biasa, Bicara Puisi
BERPUISI itu adalah berbahasa. Puisi itu adalah bicara kita. Berbicara dengan puisi berbeda dengan berbicara biasa. Puisi bukanlah bicara yang tidak komunikatif. Memang lebih mudah memahami bicara biasa dibandingkan bicara puisi. Bicara biasa tujuannya cuma satu: ia harus dimaknai tunggal, penyimak isi pembicaraan hanya berusaha menerima satu-satunya makna atau pesan dari si pembicara. Jika itu tidak terjadi maka komunikasi gagal.
PUISI tidak begitu. Kata A Teeuw, puisi menjadikan hal yang sederhana menjadi aneh, yang mudah dipahami dirumuskan secara berliku-liku, sehingga mengejutkan, malahan bahkan bisa mengelirukan. Tetapi justru keanehan itu menjadikan puisi mengesankan, sukar dilupakan, terpatri dalam ingatan.
AKAN tetapi bukan berarti puisi harus dirumit-rumitkan, diruwet-ruwetkan agar ia susah dipahami. Pengaturan bicara puisi diupayakan agar pemaknaannya bisa kaya, tidak tunggal. Mungkin hanya ada satu makna pokok seperti dalam bicara biasa, tapi yang pokok itu pun memberikan banyak variasi cara memaknainya.
SI penyimak bicara puisi menemukan kenikmatan dari seluruh sisi bahasa puisi itu. Puisi tidak menuntut kepraktisan komunikasi. Puisi memberi kesempatan pada pengguna bahasa untuk bermain-main lagi dengan kata, membangkitkan lagi kenakalan bahasa, bertamasya ke dalam ruang-ruang bahasa yang jarang dikunjungi dalam kesibukan berbahasa kita sehari-hari.
PUISI tidak begitu. Kata A Teeuw, puisi menjadikan hal yang sederhana menjadi aneh, yang mudah dipahami dirumuskan secara berliku-liku, sehingga mengejutkan, malahan bahkan bisa mengelirukan. Tetapi justru keanehan itu menjadikan puisi mengesankan, sukar dilupakan, terpatri dalam ingatan.
AKAN tetapi bukan berarti puisi harus dirumit-rumitkan, diruwet-ruwetkan agar ia susah dipahami. Pengaturan bicara puisi diupayakan agar pemaknaannya bisa kaya, tidak tunggal. Mungkin hanya ada satu makna pokok seperti dalam bicara biasa, tapi yang pokok itu pun memberikan banyak variasi cara memaknainya.
SI penyimak bicara puisi menemukan kenikmatan dari seluruh sisi bahasa puisi itu. Puisi tidak menuntut kepraktisan komunikasi. Puisi memberi kesempatan pada pengguna bahasa untuk bermain-main lagi dengan kata, membangkitkan lagi kenakalan bahasa, bertamasya ke dalam ruang-ruang bahasa yang jarang dikunjungi dalam kesibukan berbahasa kita sehari-hari.

Sejarah Ringkas Imajisme
GERAKAN Imajis melibatkan para penyair di Inggris dan Amerika pada awal Abad ke-20. Mereka menulis sajak bebas dan mempersembahkannya untuk "kejernihan ekspresi melalui pemakaian ketepatan imaji-imaji visual."
GERAKAN ini disemikan dari ide T.E. Hulme, yang di awal tahun 1908 membahas pada sebuah Klub Puisi di London sebuah puisi yang ditulis berdasarkan penggambaran dengan akurat subyek setepat-tepatnya, tak ada kata-kata berlebihan yang tak berguna. Ezra Pound memproklamasikan gerakan ini pada tahun 1912. Kala itu dia membaca sebuah sajak Hilda Doolittle, dan menyebutnya sebagai "H.D. Imagiste" lalu mengirimnya ke Harriet Monroe di Majalah Poetry.
RUKUN iman pertama dari manifesto gerakan Imajis adalah "Menggunakan bahasa dari percakapan yang umum, tapi selalu memberdayakan kata yang setepatnya kata, bukan kata yang hampir-tepat, bukan kata-kata dekoratif belaka."
CONTOH yang kerap disebut adalah puisi Ezra Pound berikut ini:
Di Stasiun Metro
Di kerumun orang, wajah-wajah menyelinap hilang;
Basah kelopak kembang, di hitam cabang-cabang.
Sajak ini dimulai dari wajah-wajah pemandangan di statiun bawah tanah yang gelap lalu lalu membawa pada pandangan lain dengan menyejajarkan dengan imaji yang lain. Dari situ hadir metafora yang membangkitkan penemuan intutitif yang tajam untuk meraih esensi kehidupan.
EZRA Pound mendefinisikan imaji sebagai "apa yang padanya, dalam waktu sekilas seketika, menghadirkan sebuah kompleksitas emosi dan intelektual". Puisi Imajis, dirumuskannya antara lain sebagai: Puisi dengan memperlakukan langsung "sesuatu", sebagai subyek atau obyek; dan Mutlakiah menggunakan, tak satupun kata yang tak memberikan sumbangan makna.
ANTOLOGI puisi Imajis terbit 1914 berisi karya-karya William Carlos Williams, Richard Aldington, dan James Joyce, serta H.D. dan Pound. Penyair Imajis lainnya adalah F. S. Flint, D. H. Lawrence, dan John Gould Fletcher. Setelah antologi itu terbit, Amy Lowell dipandang sebagai pemimpin gerakan tersebut. Tahun 1917 gerakan imajis dianggap sudah berakhir tetapi idenya terus memberi pengaruh menembus abad 20. Dokrtin puisi imajis, sadar atau tidak banyak mempengaruhi puisi-puisi karya penyair Indonesia.
[Ruang Renung # 163] Juru Bicara Puisi
BOLEHKAH penyair menjadi juru bicara puisinya sendiri? Bolehkah penyair membantu penikmat puisinya dengan menjelas-jelaskan hal iwal puisinya? Eh, bukankah katanya, penyair telah mati setelah melahirkan karyanya? Artinya karyanya itu bukan lagi dalam asuhannya? Artinya penikmat punya hak sepenuhnya untuk berbuat apa saja untuk memberi harga atau memberi makna pada puisi-puisinya?
MESTINYA penyair adalah juru bicara terbaik bagi puisi-puisinya. Dia boleh menuntun penikmat puisinya jalan-jalan ke arah pemaknaan, tetapi dia tidak mengantar ke satu-satunya makna. Tetapi dia bukan juru bicara yang nyinyir merepek. Dia bicara seperlunya saja. Kalau diam saja sudah cukup sebagai isyarat, kenapa harus banyak bicara? Penyair bukan juru bicara yang hanya memanfaatkan puisinya untuk menyampaikan urusan-urusan yang bukan puisi. Dan, yang terpenting penyair tidak menjadi juru bicara bagi puisinya di dalam puisinya.
MESTINYA penyair adalah juru bicara terbaik bagi puisi-puisinya. Dia boleh menuntun penikmat puisinya jalan-jalan ke arah pemaknaan, tetapi dia tidak mengantar ke satu-satunya makna. Tetapi dia bukan juru bicara yang nyinyir merepek. Dia bicara seperlunya saja. Kalau diam saja sudah cukup sebagai isyarat, kenapa harus banyak bicara? Penyair bukan juru bicara yang hanya memanfaatkan puisinya untuk menyampaikan urusan-urusan yang bukan puisi. Dan, yang terpenting penyair tidak menjadi juru bicara bagi puisinya di dalam puisinya.
Tuesday, August 22, 2006
Kisah Kota Lumpur
MAKA lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.
ADA pesan dari gelap lambung bumi yang ingin ia
sampaikan pada terang langit dan matahari. "Kalian tak
akan mengerti. Kalian tak akan mengerti," begitulah
dari sumur itu uap mendengus, seperti ribuan jemaah
haus, setelah berabad-abad berzikir terus-menerus.
MAKA lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang.
SEMULA ada yang mengira mereka memilih jadi ikan,
memasang semacam insang di leher dan sejak itu
menjadi bisu. Tapi telah ada hiu besar yang diam-diam
mengancam di dasar lumpur. Tak ada sekeping pun
sisa sisik dan seruas pun bekas tulang. Lalu sejak itu
muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.
MAKA lumpur pun dialirkan ke lautan. Tanpa pelabuhan.
ADA kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya
bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian
dati tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian
lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung
dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak
bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam.
Mereka dibayar dengan mata uang yang selembar saja
cukup untuk membeli segalanya, belanja selama-lamanya.
Dari daratan di kapal itu hanya terlihat lampu gemerlapan.
MAKA lumpur pun sampai, mengendap di dasar lautan.
DAN pada suatu pagi, orang tak melihat lagi kapal-kapal
itu. Malam di laut hanya tampak kegelapan. Laut sudah
mati. Warnanya hitam. Kental dan makin lama makin
panas. Mendidih. Garam bubur. Kubur ubur-ubur.
Sementara di kota itu lumpur masih terus menyembur.
Tinggal pengeras suara berkarat di menara-menara. Dulu di
sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.
ADA pesan dari gelap lambung bumi yang ingin ia
sampaikan pada terang langit dan matahari. "Kalian tak
akan mengerti. Kalian tak akan mengerti," begitulah
dari sumur itu uap mendengus, seperti ribuan jemaah
haus, setelah berabad-abad berzikir terus-menerus.
MAKA lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang.
SEMULA ada yang mengira mereka memilih jadi ikan,
memasang semacam insang di leher dan sejak itu
menjadi bisu. Tapi telah ada hiu besar yang diam-diam
mengancam di dasar lumpur. Tak ada sekeping pun
sisa sisik dan seruas pun bekas tulang. Lalu sejak itu
muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.
MAKA lumpur pun dialirkan ke lautan. Tanpa pelabuhan.
ADA kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya
bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian
dati tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian
lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung
dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak
bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam.
Mereka dibayar dengan mata uang yang selembar saja
cukup untuk membeli segalanya, belanja selama-lamanya.
Dari daratan di kapal itu hanya terlihat lampu gemerlapan.
MAKA lumpur pun sampai, mengendap di dasar lautan.
DAN pada suatu pagi, orang tak melihat lagi kapal-kapal
itu. Malam di laut hanya tampak kegelapan. Laut sudah
mati. Warnanya hitam. Kental dan makin lama makin
panas. Mendidih. Garam bubur. Kubur ubur-ubur.
Sementara di kota itu lumpur masih terus menyembur.
Tinggal pengeras suara berkarat di menara-menara. Dulu di
sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.
Kisah Kota Penjara
KOTA itu tumbuh dari pulau tempat terpidana dibuang.
SEMULA diseberangkan maling-maling muda yang
membunuh orang-orang sekampung untuk merebut
seekor hewan ternak, lalu dibakar tanpa penyembelihan.
Mereka diberi hukuman mati. Tapi seorang ayah yang
selamat mengampuni mereka. "Kami tidak pernah
mengajari mereka mengenal rumput dan air garam.
Bukan salah mereka. Kami orang-orang tua ini terlalu
sibuk menggembala. Padahal akhirnya cuma sesat
bersama, kami kehilangan ternak, anak-anak kehilangan
kami." Di sepanjang penyeberangan anak-anak muda itu
tak henti bernyanyi. "Kami sudah mati. Kami sudah...."
KOTA itu dihidupkan para hukuman, sudah dimatikan.
LALU datang pula, para pahlawan-pahlawan yang tahu
menemukan lawan dan mengobarkan peperangan demi
niat kesucian yang ditempuh pada jalan kebencian dan
api kebencian yang menghunuskan pedang kesucian.
Mereka telah menghapal manual cara membuat bahan
ledakan dari sekantong garam. Mereka telah mengenal
tubuh seperti batang getah yang siap ditatah menoreh
darah, lalu pada luka itu sebuah ancaman ditanamkan.
Kafe, rumah ibadah, kantor duta besar telah diledakkan.
KOTA itu dipimpin oleh pejabat tua yang tak mati-mati.
KITAB hukuman tak menyebutkan vonis paling pantas.
Dia mestinya dihukum mati 40 kali. Dihukum seumur
hidup 40 kali. Dihukum gantung 40 kali. Di persidangan
ia dibela 40 pengacara paling tangguh. Dan setelah 40
hakim terbunuh menjelang vonis jatuh, akhirnya sidang
dihentikan. Dan pejabat itu diam-diam diseludupkan
ke kota para tahanan, dihilangkan ke kota para buangan.
SEMULA diseberangkan maling-maling muda yang
membunuh orang-orang sekampung untuk merebut
seekor hewan ternak, lalu dibakar tanpa penyembelihan.
Mereka diberi hukuman mati. Tapi seorang ayah yang
selamat mengampuni mereka. "Kami tidak pernah
mengajari mereka mengenal rumput dan air garam.
Bukan salah mereka. Kami orang-orang tua ini terlalu
sibuk menggembala. Padahal akhirnya cuma sesat
bersama, kami kehilangan ternak, anak-anak kehilangan
kami." Di sepanjang penyeberangan anak-anak muda itu
tak henti bernyanyi. "Kami sudah mati. Kami sudah...."
KOTA itu dihidupkan para hukuman, sudah dimatikan.
LALU datang pula, para pahlawan-pahlawan yang tahu
menemukan lawan dan mengobarkan peperangan demi
niat kesucian yang ditempuh pada jalan kebencian dan
api kebencian yang menghunuskan pedang kesucian.
Mereka telah menghapal manual cara membuat bahan
ledakan dari sekantong garam. Mereka telah mengenal
tubuh seperti batang getah yang siap ditatah menoreh
darah, lalu pada luka itu sebuah ancaman ditanamkan.
Kafe, rumah ibadah, kantor duta besar telah diledakkan.
KOTA itu dipimpin oleh pejabat tua yang tak mati-mati.
KITAB hukuman tak menyebutkan vonis paling pantas.
Dia mestinya dihukum mati 40 kali. Dihukum seumur
hidup 40 kali. Dihukum gantung 40 kali. Di persidangan
ia dibela 40 pengacara paling tangguh. Dan setelah 40
hakim terbunuh menjelang vonis jatuh, akhirnya sidang
dihentikan. Dan pejabat itu diam-diam diseludupkan
ke kota para tahanan, dihilangkan ke kota para buangan.
Subscribe to:
Posts (Atom)