Adakah jejak cuaca kota itu di rambutmu?
     Aku menyentuh tanah yang subur, liana menyulur
siapa tanam kenangan di jarak yang makin kabur
     Aku cuma pejalan lelah. Katamu. Senyum bersalju.
ini jalan mengantar resah kemana? ada cahaya
     dahan-dahan, kami tak bisa berpegangan
aku kira kau ada di di ujung itu, menunggu
     menebak tiap langkahku, "itu bukan kamu. bukan kamu..."
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Wednesday, March 29, 2006
Tuesday, March 28, 2006
Draft Buku : Jejak-jejak Menapak ke Puncak Sajak (2)
II. Bersajak-sajak Dahulu
7. Saya sudah membaca puisi agak banyak. Saya tak tahu banyak itu ukurannya berapa. Saya sudah punya banyak pertanyaan untuk kita diskusikan.
Saya mau bilang bagus lagi, tapi nanti tidak puitis lagi, ya? He he. Ya, banyak itu tidak ada ukurannya. Berapa buku, atau berapa puisi, atau berapa penyair. Bacalah terus. Saya kira membaca puisi itu tak harus dihentikan bahkan kalau kelak kamu jadi penyair besar. Penyair besar mestinya harus lebih rakus lagi membaca puisi. Lebih membutuhkan banyak puisi untuk dinikmati.
8. Pertanyaan penting saya ini sebenarnya. Setelah membaca banyak puisi saya jadi ingin tahu perlukah falsafah puisi bagi seorang penyair? Perlukah penyair membuat semacam kredonya sendiri sebelum dia berkarya?
Ya, perlu. Konsep, falsafah, atau kredo puisi bisa jadi semacam pintu masuk bagi penjelajahan ke puisi-puisi yang kita tuliskan. Tapi tidak lalu seluruhnya dipertaruhkan pada konsep itu. Penyair boleh saja mencampakkan rumusan yang sebelumnya pernah ia agung-agungkan. Kredo juga tidak harus terumuskan. Biar saja dia menjadi tangan gaib yang membimbing proses persetubuhan ide-ide, kehamilan dan lalu kelahiran puisi. Duh, lihat saya mulai puitis kan?
9. He he. Ya terus? Maksud saya soal kredo tadi. Jadi ingat Sutardji Calzoum Bachri….
Ya, penyair Sutardji yang saya kira adalah penyair yang begitu populer dengan kredonya. Sampai-sampai banyak yang sok tahu dengan kredo itu walaupun tak pernah membacanya. Ia suatu hari pernah bilang, kredo itu diciptakan oleh penyairnya. Bukan kredo yang melahirkan penyair. Jadi, saran saya buat kamu: berkaryalah, dengan atau tanpa terlebih dahulu menyusun konsep puisimu.
Keduanya berisiko. Keduanya menantang. Kita bisa menulis sejumlah karya selama kurun waktu tertentu lalu merumuskan sendiri konsep apa yang bisa disusun untuk menghubungkan semua puisi itu. Atau menyusun sebuah konsep, kredo, kaidah bersyair kemudian kita bersyairlah dengan patuh pada konsep itu. Lalu suatu saat kelak kamu bisa menyusun konsep lain, membuat puisi yang lain.
10. Jadi malu nih. Jujur saja, saya belum baca kredonya Sutardji itu.
Nah, segera bacalah. Banyak yang bisa kita diskusikan dari sana. Kalau boleh mewajibkannya, saya akan mewajibkan siapa pun yang ingin menikmati puisi membaca kredo itu. Tapi jangan cuma membaca kredonya. Baca juga puisi-puisinya. Saya kira itu kredo yang paling banyak mengundang perdebatan. Nikmat sekali membacanya.
11. Oh ya. Tadi kamu bilang, marah pun bisa melahirkan puisi. Kok bisa?
Kok bisa, ya bisa. Saya mau cerita. Kawan bilang dia bisa bikin puisi kalau sedang marah. Kawan yang lain bilang: dia hanya bisa menulis puisi kalau sedang jatuh cinta. Lalu keduanya menyimpulkan seorang penyair adalah orang yang selalu marah dan terus menerus jatuh cinta.
12. Kalau jatuh cinta saya setuju. Kalau marah?
Begini. Penyair adalah manusia biasa yang bisa marah dan tentu juga boleh jatuh cinta. Ada persamaan antara keduanya – marah dan jatuh cinta - yaitu membuat manusia pada saat itu peka perasaannya. Puisi memerlukan itu. Kepekaan yang berlebih menangkap tanda yang dikirim yang datang yang mengusik yang mengganggu yang diburu yang sekecil apapun bahkan yang remeh tak berguna.
13. Hmmm kalau begitu perasaan apa saja bisa jadi puisi?
Rasa apa saja? Apa misalnya?
14. Wah, menguji ya? Ya, rasa apa saja. Sedih, lapar, letih, gembira, kesal, stres, putus asa, patah hati, haus …. perlu terus saya teruskan?
Cukup. Jadi, saya kira kamu bisa gampang mengerti sekarang kalau saya katakan bahwa kerja menyair yang bersungguh, sesungguhnya bukan hanya pada saat membuat syair, tapi bagaimana membuat perasaan kita terus menerus peka. Kepekaan itu berguna untuk menjemput tanda yang datang tadi, tanpa harus menunggu saat marah atau jatuh cinta. Yang entah bila entah dimana akan menyentuh hidup dan manusia lainnya.
15. Anggaplah sekarang perasaan saya sudah terlatih. Sudah peka. Saya ingin menulis puisi. Saya kan perlu ilham? Perlu ide?
Penyair bukanlah manusia yang dimanjakan alam, kata penyair Polandia peraih Nobel Sastra tahun 1996 Wislawa Szymborska. Inspirasi baginya datang dari ketidaktahuan yang terus menerus diulang. Dengan kata lain dari keingintahuan. Seperti Newton, katanya, yang bertanya kenapa apel jatuh. Peristiwa sederhana itu akhirnya membawa ke teori gravitasi. Tentu saja kamu harus mempersiapkan rasa itu tadi.
16. Sebentar, saya tidak ingin menyusun sebuah teori. Saya ingin menulis puisi.
Menyusun sebuah teori saya pada hakikatnya adalah sama dengan menulis puisi. Tapi yang kamu susun teorinya dalam puisi adalah pertanyaan-pertanyaan tentang hidup dengan kaidah-kaidah perasaan. Puisi yang baik adalah sebuah teori kecil. Sebuah rumusan yang indah tentang sesuatu hal.
Jadi inspirasi puisi juga bisa datang dari keinginan untuk mengetahui atau niat memberi tahu. Kamu perlu memiliki kemauan dan keberanian untuk sedikit mengolah fikir dan rasa, menyelinap ke belakang panggung setiap peristiwa, sekecil atau sebesar apapun ia. Dan keinginan membangkitkan pertanyaan sendiri dan kemudian merumuskan jawaban bagi pertanyaan itu. Puisi bisa kita jadikan jawaban atau cara menjawab atas pertanyaan-pertanyaan yang juga datang pada diri kita. Penyair yang peka adalah dia yang terus-menerus-terus mengolah batin agar peka atas usikan-usikan peristiwa yang datang sebagai pertanyaan yang minta jawaban.
17. Kalau begitu, puisi tidak boleh salah? Harus benar?
Ini bukan perkara benar atau salah. Lagi pula, benar dan salah itu mengacu ke mana? Perasaan kita bisakah dibuat batasan benar salah? Mungkin ucapan Multatuli perlu dikutip dalam diskusi kita ini. Apa katanya? Dalam puisi ada kebenaran. Kamu yang tak menemukan kebenaran dalam puisi hanya akan menjadi penyair yang berdiri di luar kebenaran itu.
Tapi puisi bukan sebuah teori yang eksak, yang pasti. Jawabannya atas problem hidup tentu saja tak akan pernah tuntas. Bahkan sebaliknya bisa kembali membangkitkan pertanyaan lain. Tak henti-henti. Tak henti-henti.
18. Saya minta contoh. Agak bingung nih…
Pernah baca Sang Nabi Kahlil Gibran? Dalam syair itu dia ada merumuskan tentang anak. Anakmu bukanlah anakmu, begitulah katanya. Dia adalah anak-anak kehidupan, dan seterusnya. Ini kan rumus atau sebutlah teori baru tentang hubungan anak dan orang tua yang akhirnya jadi khazanah kebenaran di seluruh dunia. Karena rumusan itu, orang tua bisa bersikap lebih bijak kepada anaknya. Tanpa batasan iman, apa yang dirumuskan oleh Gibran mengandung kebenaran. Cukup contohnya?
19. Wow, contoh yang hebat. Saya bisa mengerti.
Ya, Gibran memang pujangga hebat. Dia mestinya sangat pantas untuk dapat hadiah Nobel Sastra. Tapi sayang hadiah itu tak diberikan kepada orang yang sudah meninggal.
Kamu boleh merumuskan kebesaran Gibran dalam puisimu.
7. Saya sudah membaca puisi agak banyak. Saya tak tahu banyak itu ukurannya berapa. Saya sudah punya banyak pertanyaan untuk kita diskusikan.
Saya mau bilang bagus lagi, tapi nanti tidak puitis lagi, ya? He he. Ya, banyak itu tidak ada ukurannya. Berapa buku, atau berapa puisi, atau berapa penyair. Bacalah terus. Saya kira membaca puisi itu tak harus dihentikan bahkan kalau kelak kamu jadi penyair besar. Penyair besar mestinya harus lebih rakus lagi membaca puisi. Lebih membutuhkan banyak puisi untuk dinikmati.
8. Pertanyaan penting saya ini sebenarnya. Setelah membaca banyak puisi saya jadi ingin tahu perlukah falsafah puisi bagi seorang penyair? Perlukah penyair membuat semacam kredonya sendiri sebelum dia berkarya?
Ya, perlu. Konsep, falsafah, atau kredo puisi bisa jadi semacam pintu masuk bagi penjelajahan ke puisi-puisi yang kita tuliskan. Tapi tidak lalu seluruhnya dipertaruhkan pada konsep itu. Penyair boleh saja mencampakkan rumusan yang sebelumnya pernah ia agung-agungkan. Kredo juga tidak harus terumuskan. Biar saja dia menjadi tangan gaib yang membimbing proses persetubuhan ide-ide, kehamilan dan lalu kelahiran puisi. Duh, lihat saya mulai puitis kan?
9. He he. Ya terus? Maksud saya soal kredo tadi. Jadi ingat Sutardji Calzoum Bachri….
Ya, penyair Sutardji yang saya kira adalah penyair yang begitu populer dengan kredonya. Sampai-sampai banyak yang sok tahu dengan kredo itu walaupun tak pernah membacanya. Ia suatu hari pernah bilang, kredo itu diciptakan oleh penyairnya. Bukan kredo yang melahirkan penyair. Jadi, saran saya buat kamu: berkaryalah, dengan atau tanpa terlebih dahulu menyusun konsep puisimu.
Keduanya berisiko. Keduanya menantang. Kita bisa menulis sejumlah karya selama kurun waktu tertentu lalu merumuskan sendiri konsep apa yang bisa disusun untuk menghubungkan semua puisi itu. Atau menyusun sebuah konsep, kredo, kaidah bersyair kemudian kita bersyairlah dengan patuh pada konsep itu. Lalu suatu saat kelak kamu bisa menyusun konsep lain, membuat puisi yang lain.
10. Jadi malu nih. Jujur saja, saya belum baca kredonya Sutardji itu.
Nah, segera bacalah. Banyak yang bisa kita diskusikan dari sana. Kalau boleh mewajibkannya, saya akan mewajibkan siapa pun yang ingin menikmati puisi membaca kredo itu. Tapi jangan cuma membaca kredonya. Baca juga puisi-puisinya. Saya kira itu kredo yang paling banyak mengundang perdebatan. Nikmat sekali membacanya.
11. Oh ya. Tadi kamu bilang, marah pun bisa melahirkan puisi. Kok bisa?
Kok bisa, ya bisa. Saya mau cerita. Kawan bilang dia bisa bikin puisi kalau sedang marah. Kawan yang lain bilang: dia hanya bisa menulis puisi kalau sedang jatuh cinta. Lalu keduanya menyimpulkan seorang penyair adalah orang yang selalu marah dan terus menerus jatuh cinta.
12. Kalau jatuh cinta saya setuju. Kalau marah?
Begini. Penyair adalah manusia biasa yang bisa marah dan tentu juga boleh jatuh cinta. Ada persamaan antara keduanya – marah dan jatuh cinta - yaitu membuat manusia pada saat itu peka perasaannya. Puisi memerlukan itu. Kepekaan yang berlebih menangkap tanda yang dikirim yang datang yang mengusik yang mengganggu yang diburu yang sekecil apapun bahkan yang remeh tak berguna.
13. Hmmm kalau begitu perasaan apa saja bisa jadi puisi?
Rasa apa saja? Apa misalnya?
14. Wah, menguji ya? Ya, rasa apa saja. Sedih, lapar, letih, gembira, kesal, stres, putus asa, patah hati, haus …. perlu terus saya teruskan?
Cukup. Jadi, saya kira kamu bisa gampang mengerti sekarang kalau saya katakan bahwa kerja menyair yang bersungguh, sesungguhnya bukan hanya pada saat membuat syair, tapi bagaimana membuat perasaan kita terus menerus peka. Kepekaan itu berguna untuk menjemput tanda yang datang tadi, tanpa harus menunggu saat marah atau jatuh cinta. Yang entah bila entah dimana akan menyentuh hidup dan manusia lainnya.
15. Anggaplah sekarang perasaan saya sudah terlatih. Sudah peka. Saya ingin menulis puisi. Saya kan perlu ilham? Perlu ide?
Penyair bukanlah manusia yang dimanjakan alam, kata penyair Polandia peraih Nobel Sastra tahun 1996 Wislawa Szymborska. Inspirasi baginya datang dari ketidaktahuan yang terus menerus diulang. Dengan kata lain dari keingintahuan. Seperti Newton, katanya, yang bertanya kenapa apel jatuh. Peristiwa sederhana itu akhirnya membawa ke teori gravitasi. Tentu saja kamu harus mempersiapkan rasa itu tadi.
16. Sebentar, saya tidak ingin menyusun sebuah teori. Saya ingin menulis puisi.
Menyusun sebuah teori saya pada hakikatnya adalah sama dengan menulis puisi. Tapi yang kamu susun teorinya dalam puisi adalah pertanyaan-pertanyaan tentang hidup dengan kaidah-kaidah perasaan. Puisi yang baik adalah sebuah teori kecil. Sebuah rumusan yang indah tentang sesuatu hal.
Jadi inspirasi puisi juga bisa datang dari keinginan untuk mengetahui atau niat memberi tahu. Kamu perlu memiliki kemauan dan keberanian untuk sedikit mengolah fikir dan rasa, menyelinap ke belakang panggung setiap peristiwa, sekecil atau sebesar apapun ia. Dan keinginan membangkitkan pertanyaan sendiri dan kemudian merumuskan jawaban bagi pertanyaan itu. Puisi bisa kita jadikan jawaban atau cara menjawab atas pertanyaan-pertanyaan yang juga datang pada diri kita. Penyair yang peka adalah dia yang terus-menerus-terus mengolah batin agar peka atas usikan-usikan peristiwa yang datang sebagai pertanyaan yang minta jawaban.
17. Kalau begitu, puisi tidak boleh salah? Harus benar?
Ini bukan perkara benar atau salah. Lagi pula, benar dan salah itu mengacu ke mana? Perasaan kita bisakah dibuat batasan benar salah? Mungkin ucapan Multatuli perlu dikutip dalam diskusi kita ini. Apa katanya? Dalam puisi ada kebenaran. Kamu yang tak menemukan kebenaran dalam puisi hanya akan menjadi penyair yang berdiri di luar kebenaran itu.
Tapi puisi bukan sebuah teori yang eksak, yang pasti. Jawabannya atas problem hidup tentu saja tak akan pernah tuntas. Bahkan sebaliknya bisa kembali membangkitkan pertanyaan lain. Tak henti-henti. Tak henti-henti.
18. Saya minta contoh. Agak bingung nih…
Pernah baca Sang Nabi Kahlil Gibran? Dalam syair itu dia ada merumuskan tentang anak. Anakmu bukanlah anakmu, begitulah katanya. Dia adalah anak-anak kehidupan, dan seterusnya. Ini kan rumus atau sebutlah teori baru tentang hubungan anak dan orang tua yang akhirnya jadi khazanah kebenaran di seluruh dunia. Karena rumusan itu, orang tua bisa bersikap lebih bijak kepada anaknya. Tanpa batasan iman, apa yang dirumuskan oleh Gibran mengandung kebenaran. Cukup contohnya?
19. Wow, contoh yang hebat. Saya bisa mengerti.
Ya, Gibran memang pujangga hebat. Dia mestinya sangat pantas untuk dapat hadiah Nobel Sastra. Tapi sayang hadiah itu tak diberikan kepada orang yang sudah meninggal.
Kamu boleh merumuskan kebesaran Gibran dalam puisimu.
Draft Buku : Jejak-jejak Menapak ke Puncak Sajak
I. Bukan Sekadar Pengantar
1. Wow, judul buku ini puitis juga ya?
Bagus, saya suka pertanyaan pertama ini. Kalau kamu bisa merasakan ada yang puitis pada sesuatu yang bukan puisi, itu pertanda kamu peka. Dan kepekaan rasa itu penting ketika bersuka-suka dengan puisi. Kepekaan itu penting untuk menikmati puisi. Menikmati dalam arti membacanya dan terlebih lagi menuliskannya.
2. Ya. Saya memang hendak menikmati puisi. Saya hendak menjadi pembaca puisi yang baik dan menulis puisi yang hebat. Saya harus mulai dari mana?
Sekali lagi saya harus mengucapkan: bagus! Niatmu hendak membaca dan menulis puisi itu sekaligus juga petunjuk bagimu. Ya, mulailah dengan membaca dan menulis puisi. Jangan tanya saya di mana kamu bisa dapat puisi. Karena saya akan menjawabnya tanpa kamu tanya. Kamu bisa beli surat kabar Minggu yang banyak memberi tempat khusus untuk puisi. Kamu bisa pinjam di perpustakaan terdekat. Kamu juga bisa berseluncur di internet. Atau kalau punya anggaran, belilah buku puisi.
3. Itu saja?
Kamu juga bisa pinjam buku temanmu. Atau mencuri buku seperti Chairil Anwar. Tapi ingat, dulu toko buku tidak dilengkapi kamera pengintai. Saya tidak mengajarimu menjadi pencuri. Saya menyebut Chairil yang mencuri itu bukan sebagai contoh sebuah tindak kriminal. Chairil mencuri karena ia pembaca yang rakus. Ia tidak bisa menahan diri untuk menunda membaca. Ia tak bisa dihalangi oleh kenyataan bahwa dompet dan sakunya sedang kosong. Itu yang harus kamu tiru. Semangat membacanya itu.
4. Baiklah, saya akan menjadi pembaca puisi yang rakus. Bagaimana dengan menulis puisi? Adakah jaminan saya akan jadi penulis yang bagus kalau sudah membaca banyak puisi?
Sabar, ini baru pengantar. Tapi, saya ingin mengingatkan kamu: luruskan dulu niatmu. Kamu kan ingin menikmati puisi? Ini penting. Lebih penting daripada keinginanmu menjadi penulis puisi atau penyair yang hebat. Jadi jangan menuntut garansi apa-apa. Jangan minta jaminan kalau kamu sudah membaca puisi yang baik dan banyak, maka kamu akan jadi penulis puisi yang baik. Meskipun ada hubungan antara si penyebab dan si terakibat di situ. Kalaupun kamu nanti tidak menulis puisi, kamu kan juga bisa jadi penelaah puisi yang tajam, jadi pengamat puisi yang jeli, jadi pemeta puisi yang teliti, jadi pembedah puisi yang piawai. Semuanya menjanjikan kenikmatan. Syukur kalau nanti bisa juga membagi-bagi kenikmatan itu pada orang lain.
5. Iya, ya. Tapi, jangan marah begitulah. Tidak puitis, he he he….
Siapa bilang? Puisi juga bisa lahir dari rasa marah.
6. Oh, ya?
Ya, tapi kita omongkan itu nanti. Pengantar ini cukup sampai di sini.
1. Wow, judul buku ini puitis juga ya?
Bagus, saya suka pertanyaan pertama ini. Kalau kamu bisa merasakan ada yang puitis pada sesuatu yang bukan puisi, itu pertanda kamu peka. Dan kepekaan rasa itu penting ketika bersuka-suka dengan puisi. Kepekaan itu penting untuk menikmati puisi. Menikmati dalam arti membacanya dan terlebih lagi menuliskannya.
2. Ya. Saya memang hendak menikmati puisi. Saya hendak menjadi pembaca puisi yang baik dan menulis puisi yang hebat. Saya harus mulai dari mana?
Sekali lagi saya harus mengucapkan: bagus! Niatmu hendak membaca dan menulis puisi itu sekaligus juga petunjuk bagimu. Ya, mulailah dengan membaca dan menulis puisi. Jangan tanya saya di mana kamu bisa dapat puisi. Karena saya akan menjawabnya tanpa kamu tanya. Kamu bisa beli surat kabar Minggu yang banyak memberi tempat khusus untuk puisi. Kamu bisa pinjam di perpustakaan terdekat. Kamu juga bisa berseluncur di internet. Atau kalau punya anggaran, belilah buku puisi.
3. Itu saja?
Kamu juga bisa pinjam buku temanmu. Atau mencuri buku seperti Chairil Anwar. Tapi ingat, dulu toko buku tidak dilengkapi kamera pengintai. Saya tidak mengajarimu menjadi pencuri. Saya menyebut Chairil yang mencuri itu bukan sebagai contoh sebuah tindak kriminal. Chairil mencuri karena ia pembaca yang rakus. Ia tidak bisa menahan diri untuk menunda membaca. Ia tak bisa dihalangi oleh kenyataan bahwa dompet dan sakunya sedang kosong. Itu yang harus kamu tiru. Semangat membacanya itu.
4. Baiklah, saya akan menjadi pembaca puisi yang rakus. Bagaimana dengan menulis puisi? Adakah jaminan saya akan jadi penulis yang bagus kalau sudah membaca banyak puisi?
Sabar, ini baru pengantar. Tapi, saya ingin mengingatkan kamu: luruskan dulu niatmu. Kamu kan ingin menikmati puisi? Ini penting. Lebih penting daripada keinginanmu menjadi penulis puisi atau penyair yang hebat. Jadi jangan menuntut garansi apa-apa. Jangan minta jaminan kalau kamu sudah membaca puisi yang baik dan banyak, maka kamu akan jadi penulis puisi yang baik. Meskipun ada hubungan antara si penyebab dan si terakibat di situ. Kalaupun kamu nanti tidak menulis puisi, kamu kan juga bisa jadi penelaah puisi yang tajam, jadi pengamat puisi yang jeli, jadi pemeta puisi yang teliti, jadi pembedah puisi yang piawai. Semuanya menjanjikan kenikmatan. Syukur kalau nanti bisa juga membagi-bagi kenikmatan itu pada orang lain.
5. Iya, ya. Tapi, jangan marah begitulah. Tidak puitis, he he he….
Siapa bilang? Puisi juga bisa lahir dari rasa marah.
6. Oh, ya?
Ya, tapi kita omongkan itu nanti. Pengantar ini cukup sampai di sini.
DUA sarung tangan kiri disatukan tak sama dengan satu pasang sarung tangan. Setengah kebenaran ditambah setengah kebenaran bukan sebuah kebenaran.
* Multatuli [Eduard Douwer Dekker] (1820–1887), Dutch writer
* Multatuli [Eduard Douwer Dekker] (1820–1887), Dutch writer
TIDAK ada yang lebih puitis daripada kebenaran. Dia yang tak melihat puisi pada kebenaran selalu hanya kaan menjadi penyair malang yang berdiri di luar kebenaran itu.
* Multatuli [Eduard Douwer Dekker] (1820–1887)
* Multatuli [Eduard Douwer Dekker] (1820–1887)

HANYA ada satu keindahan - dan satu ekspresi sempurna - yaitu Puisi. Selain itu hanya dusta - kecuali siapa yang mau hidup dengan tubuh, cinta, dan persahabatan yang mencinta pikir... Bagiku, Puisi mengambil alih tempat cinta, karena ia diranjingi oleh dirinya sendiri, dan karena keriangannya yang memberahikan jatuh kembali ke pangku jiwaku dengan nikmatnya.
Sunday, March 26, 2006

SAINS dan seni, atau pada kasus yang sama, puisi dan prosa, berbeda satu sama lain seperti sebuah perantauan dan sebuah pelancongan. Perantuan diniatkan pada tujuan akhirnya, sementara pelancongan ditekankan pada proses sepanjang perjalanannnya.
* Franz Grillparzer (1791–1872), Austrian author. Notebooks and Diaries (1838).
Tak Ada Penjual Kartu Pos
di Halaman Masjid Tua Itu
TAK ada penjual kartu pos, di halaman masjid tua itu.
Kau pun hanya ingin mengirimkan berita tak gembira:
Aku hanya ingin singgah, setelah jamaah asar bubar,
sebelum magrib mengabarkan azan, tinggal sebentar.
TAK ada penjual kartu pos, hanya tukang potret renta,
kamera Leica tua yang, "Cuma memotret pelancong,
seperti Anda, ribuan lembar fotograf: waktu beku itu."
Ia hanya perlu alamat, posemu jauh di seberang taman.
Kau hanya ingin duduk. Kau ingin sebentar kesepian.
"Lihat, ada paku liar, jadi gulma lebat, di pucuk ikamat,"
tapi tak ada yang bergesa, tak ada yang ingin bersegera.
TAK ada penjual kartu pos, di halaman masjid tua itu.
Dia kah yang seperti ingin menyapamu? Di antara kedai
penjual kopiah dan buku petunjuk ibadah praktis itu?
di Halaman Masjid Tua Itu
TAK ada penjual kartu pos, di halaman masjid tua itu.
Kau pun hanya ingin mengirimkan berita tak gembira:
Aku hanya ingin singgah, setelah jamaah asar bubar,
sebelum magrib mengabarkan azan, tinggal sebentar.
TAK ada penjual kartu pos, hanya tukang potret renta,
kamera Leica tua yang, "Cuma memotret pelancong,
seperti Anda, ribuan lembar fotograf: waktu beku itu."
Ia hanya perlu alamat, posemu jauh di seberang taman.
Kau hanya ingin duduk. Kau ingin sebentar kesepian.
"Lihat, ada paku liar, jadi gulma lebat, di pucuk ikamat,"
tapi tak ada yang bergesa, tak ada yang ingin bersegera.
TAK ada penjual kartu pos, di halaman masjid tua itu.
Dia kah yang seperti ingin menyapamu? Di antara kedai
penjual kopiah dan buku petunjuk ibadah praktis itu?
[Ruang Renung # 137] Tanda Kurung dan Garis Miring

PENYAIR adalah dia yang senantiasa berdiri di pojok tikungan bahasa itu. Tikungan yang penuh bahaya itu. Kenapa? Karena setiap bahasa memiliki tanda kurung dan garis miring. Itulah bahayanya. Itulah risiko orang yang sadar memilih tempat bediri di pojok tikungan bahasa.
KENAPA penyair memilih berdiri di tempat itu? Karena ada engkau yang berusaha menegakkan menara cahaya. Bila segalanya terang benderang, seperti dalam bahasa yang bukan sajak, penyair tak lagi menemukan gairah, tak lagi menemukan gelora bahasa. Karena itu ia lebih memilih menunggu di pojok tikungan bahasa, karena ia tahu di balik garis miring, ada seribu tanda kurung masih menunggu.
BAHKAN di gelora magma bahasa, penyair tak akan juga terbakar. Karena batu bahasa yang dipanas-panaskan hingga mencair menjadi magma yang menggelora, bagi penyair ternyata tak lebih panas daripada letik api sajak. Karena itu, penyair lebih memilih menyergap bayang-bayang yang patah warna. Karena ia tahu bahwa di pojok tikungan bahasa, tempat ia menunggu, ia sedang mendaki garis miring dalam tanda kurung.
ADA tanda ku rung di balik garis miring. Ada garing miring dalam tanda kurung. Garis miring dan tanda kurung, keduanya tanda baca yang tentu saja akrab dengan kita, menjadi metafor yang saya kira khas Jamal D Rahman. Setidaknya dalam sajak "Penyair di Balik Tikungan" ini. Sajak yang termuat dalam buku "Reruntuhan Cahaya" (Bentang, Yogyakarta, 2003) ini amat layak diperbincangkan dan direnungkan. Tiga alinea di atas adalah hasil renungan saya atas puisi itu, dan hasil perbincangan saya dengan puisi itu. Juga dua alinea berikut ini.
Kenapa garis miring? Garis miring adalah sebuah tanda pengatau. Sebuah tawaran untuk memilih. Sebuah alternatif yang bisa x dan bisa y. Garis miring adalah juga pembagi. Puisi sejatinya juga adalah sebuah garis miring. Kalau orang yang bukan penyair melihat x, maka penyair dengan puisinya bisa memberi sebuah atau yang lain. Sebuah y. Ketika makna hidup terlalu berat untuk direngkuh seluruhnya, maka penyair dengan puisinya yang bagai garis miring, membagi-bagi keseluruhan makna itu kedalam pemaknaan-pemaknaan kecil yang lebih punya daya sentuh.
Kenapa tanda kurung? Hakikatnya, tanda ini dipakai untuk membuat kesimpulan-kesimpulan kecil dalam sebuah perjalanan kalimat. Ia juga bisa diisi dengan semacam peringatan ringan agar kalimat-kalimat yang sedang berjalan tidak menyesatkan kita yang mengikutinya. Tanda kurung dengan demikian adalah metafora yang pas untuk puisi dalam kehidupan dan dalam bahasa.[]
Thursday, March 23, 2006
Puisi untuk Sebuah Sore yang Tidak Hangat
"Hujankah semalam?"
Aku melihat genangan seperti gerangan.
Bangku basah, masih juga kosong,
ranting resah, yang tak menolong.
"Kelak aku tinggal kota ini."
Aku tidak ingin ada yang bertanya,
"Hei, kau mau kemana sesungguhnya?"
Kenapa harus tahan bertahan?
Tak ada yang kutinggalkan,
di bangku tua.
Taman menua.
Aku melihat genangan seperti gerangan.
Bangku basah, masih juga kosong,
ranting resah, yang tak menolong.
"Kelak aku tinggal kota ini."
Aku tidak ingin ada yang bertanya,
"Hei, kau mau kemana sesungguhnya?"
Kenapa harus tahan bertahan?
Tak ada yang kutinggalkan,
di bangku tua.
Taman menua.
Subscribe to:
Posts (Atom)