Sajak Pablo Neruda
Pagi yang penuh dengan badai ganas
di hati yang kini musim panas.
Awan mengembara bagai sapu tangan putih perpisahan,
angin, bepergian, melambaikannya di segenap tangan.
Hati angin yang tak terbilang ada
berdebaran pada kebisuan cinta kita.
Seperti takdir dan orkestra, bersuara di antara pepohonan
seperti bahasa yang disesaki perang dan tembang.
Sehembus lekas angin membawa dedaunan mati
menangkis anak panah beruntuntun burung-burung.
Seombak angin menghembusnya telanjang dada
tanpa percik, ringan tapi ada, seperti api.
Kecupan-kecupannya pecah dan lalu tenggelam,
Menyerbu memburu ke pintu angin musim panas.
The Morning is Full
The morning is full of storm
in the heart of summer.
The clouds travel like white handkerchiefs of goodbye,
the wind, travelling, waving them in its hands.
The numberless heart of the wind
beating above our loving silence.
Orchestral and divine, resounding among the trees
like a language full of wars and songs.
Wind that bears off the dead leaves with a quick raid
and deflects the pulsing arrows of the birds.
Wind that topples her in a wave without spray
and substance without weight, and leaning fires.
Her mass of kisses breaks and sinks,
assailed in the door of the summer's wind.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Saturday, October 30, 2004
Nyaris Saja Melampaui Angkasa
Sajak Pablo Neruda
Nyaris saja melampaui angkasa, separo bulan
menautkan jangkar di antara dua pegunungan.
Bertukaran, malam melayah, si penggali mata.
Tengok, ada bintang-bintang terbanting di kolam.
Ada persimpangan duka antara dua mataku, dan lekas berlalu.
Menempa logam biru, malam bagi pertempuran kesunyian.
Hatiku bergulung bertukar, seperti roda-roda gila.
Gadis yang datang dari jauh, terbawa dari jauh,
sesekali kelebatmu menyambar di lengkung langit.
Gemuruh, badai guruh, puting beliung kemarahan,
kau memapas di atas hatiku tanpa terhentikan.
Angin dari pemakaman terbawa lari, merongsokkan,
menghamburkan akarmu yang tadinya lelap damai.
Pohon besar di sisian lain, sisiannya, terbantun.
Tapi kau, gadis tanpa awan, pertanyaan kabut, malai jagung.
Di belakang gunung-gunung malam, lily putih lautan api,
Ah, tak ada yang bisa kusebut lagi! Kau adalah segalanya.
Rindu yang mengiris dadaku berkepingan, inilah saatnya
melintasi ke jalan lain, mengelakinya, menghindar senyuman.
Badai mengubur lonceng-lonceng, pusaran lumpur penyiksaan,
kenapa menyentuhnya sekarang, kenapa memurungkannya.
Oh, ikuti saja jalan yang membawamu jauh dari segalanya.
tanpa nestapa, kematian, musim dingin menanti di sana
dengan matanya terbuka karena embun yang ada.
Almost Out of the Sky
Almost out of the sky, half of the moon
anchors between two mountains.
Turning, wandering night, the digger of eyes.
Let's see how many stars are smashed in the pool.
It makes a cross of mourning between my eyes, and runs away.
Forge of blue metals, nights of stilled combats,
my heart revolves like a crazy wheel.
Girl who have come from so far, been brought from so far,
sometimes your glance flashes out under the sky.
Rumbling, storm, cyclone of fury,
you cross above my heart without stopping.
Wind from the tombs carries off, wrecks, scatters your sleepy root.
The big trees on the other side of her, uprooted.
But you, cloudless girl, question of smoke, corn tassel.
You were what the wind was making with illuminated leaves.
Behind the nocturnal mountains, white lily of conflagration,
ah, I can say nothing! You were made of everything.
Longing that sliced my breast into pieces,
it is time to take another road, on which she does not smile.
Storm that buries the bells, muddy swirl of torments,
why touch her now, why make her sad.
Oh to follow the road that leads away from everything,
without anguish, death, winter waiting along it
with their eyes open through the dew.
Nyaris saja melampaui angkasa, separo bulan
menautkan jangkar di antara dua pegunungan.
Bertukaran, malam melayah, si penggali mata.
Tengok, ada bintang-bintang terbanting di kolam.
Ada persimpangan duka antara dua mataku, dan lekas berlalu.
Menempa logam biru, malam bagi pertempuran kesunyian.
Hatiku bergulung bertukar, seperti roda-roda gila.
Gadis yang datang dari jauh, terbawa dari jauh,
sesekali kelebatmu menyambar di lengkung langit.
Gemuruh, badai guruh, puting beliung kemarahan,
kau memapas di atas hatiku tanpa terhentikan.
Angin dari pemakaman terbawa lari, merongsokkan,
menghamburkan akarmu yang tadinya lelap damai.
Pohon besar di sisian lain, sisiannya, terbantun.
Tapi kau, gadis tanpa awan, pertanyaan kabut, malai jagung.
Di belakang gunung-gunung malam, lily putih lautan api,
Ah, tak ada yang bisa kusebut lagi! Kau adalah segalanya.
Rindu yang mengiris dadaku berkepingan, inilah saatnya
melintasi ke jalan lain, mengelakinya, menghindar senyuman.
Badai mengubur lonceng-lonceng, pusaran lumpur penyiksaan,
kenapa menyentuhnya sekarang, kenapa memurungkannya.
Oh, ikuti saja jalan yang membawamu jauh dari segalanya.
tanpa nestapa, kematian, musim dingin menanti di sana
dengan matanya terbuka karena embun yang ada.
Almost Out of the Sky
Almost out of the sky, half of the moon
anchors between two mountains.
Turning, wandering night, the digger of eyes.
Let's see how many stars are smashed in the pool.
It makes a cross of mourning between my eyes, and runs away.
Forge of blue metals, nights of stilled combats,
my heart revolves like a crazy wheel.
Girl who have come from so far, been brought from so far,
sometimes your glance flashes out under the sky.
Rumbling, storm, cyclone of fury,
you cross above my heart without stopping.
Wind from the tombs carries off, wrecks, scatters your sleepy root.
The big trees on the other side of her, uprooted.
But you, cloudless girl, question of smoke, corn tassel.
You were what the wind was making with illuminated leaves.
Behind the nocturnal mountains, white lily of conflagration,
ah, I can say nothing! You were made of everything.
Longing that sliced my breast into pieces,
it is time to take another road, on which she does not smile.
Storm that buries the bells, muddy swirl of torments,
why touch her now, why make her sad.
Oh to follow the road that leads away from everything,
without anguish, death, winter waiting along it
with their eyes open through the dew.
Thursday, October 28, 2004
Tiga Baris Cinta
Aku mau tenggelam dalam cinta yang menggenggam
tak ada lagi arus sungai, tak kita cari lagi jembatan
hanya tangan berpegangan. hanya kita berangkulan.
tak ada lagi arus sungai, tak kita cari lagi jembatan
hanya tangan berpegangan. hanya kita berangkulan.
Wednesday, October 27, 2004
Bayangan Mencair
: fotografi kegundahan
jika bukan tersebab basah disentuh lidah ombak,
tak kan tampak bayang di pantai: lantai batu itu.
jika bukan karena aku yang terdampar telanjang,
tak kan kucari wajahku pada bayang mencair itu.
jika tidak pada senja hitam, matahari nyaris silam,
hempas ombak itu tanpa suara. Laut yang diam.
kukira inilah fotografi kegundahan itu. Sehelai potret,
tanpa studio: ruang gelap membasuh selembar diriku.
jika bukan tersebab basah disentuh lidah ombak,
tak kan tampak bayang di pantai: lantai batu itu.
jika bukan karena aku yang terdampar telanjang,
tak kan kucari wajahku pada bayang mencair itu.
jika tidak pada senja hitam, matahari nyaris silam,
hempas ombak itu tanpa suara. Laut yang diam.
kukira inilah fotografi kegundahan itu. Sehelai potret,
tanpa studio: ruang gelap membasuh selembar diriku.
Pada Sebuah Senja di Langitku
Sajak Pablo Neruda
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jadi cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, bagiku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
In My Sky at Twilight
This poem is a paraphrase
of the 30th poem in
Rabindranath Tagore's
The Gardener
In my sky at twilight you are like a cloud
and your form and color are the way I love them.
You are mine, mine, woman with sweet lips
and in your life my infinite dreams live.
The lamp of my soul dyes your feet,
My sour wine is sweeter on your lips,
oh reaper of my evening song,
how solitary dreams believe you to be mine!
You are mine, mine, I go shouting it to the afternoon's
wind, and the wind hauls on my widowed voice.
Huntress of the depths of my eyes, you plunder
stills your nocturnal regard as though it were water.
You are taken in the net of my music, my love,
and my nets of music are wide as the sky.
My soul is born on the shore of your eyes of mourning.
In your eyes of mourning the land of dreams begins.
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jadi cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, bagiku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
In My Sky at Twilight
This poem is a paraphrase
of the 30th poem in
Rabindranath Tagore's
The Gardener
In my sky at twilight you are like a cloud
and your form and color are the way I love them.
You are mine, mine, woman with sweet lips
and in your life my infinite dreams live.
The lamp of my soul dyes your feet,
My sour wine is sweeter on your lips,
oh reaper of my evening song,
how solitary dreams believe you to be mine!
You are mine, mine, I go shouting it to the afternoon's
wind, and the wind hauls on my widowed voice.
Huntress of the depths of my eyes, you plunder
stills your nocturnal regard as though it were water.
You are taken in the net of my music, my love,
and my nets of music are wide as the sky.
My soul is born on the shore of your eyes of mourning.
In your eyes of mourning the land of dreams begins.
Cukup Dadamu Saja Buatku
Sajak Pablo Neruda
Cukup dadamu saja buat hatiku,
dan sayapku untuk kebebasanmu.
Apa yang tertidur di jiwamu kelak
bangun dari mulutku, ke surga menuju.
Padamu ada ilusi segenap hari-hari.
Kau datang seperti embun ke mangkuk bunga-bunga.
Ketika kau tiada, kau guyahkan kaki langit.
Seperti ombak: terbang, mengangkasa, selamanya.
Telah kusabdakan: kau bernyanyi di deru angin
seperti guruh pinus, seperti dentang tiang.
Seperti keduanya, engkau tinggi, berdiam,
dirudung murung. Kau: bagai pelayaran itu.
Kau libatkan segalanya seperti jalanan tua.
Kau dihuni gema-gema dan suara nostalgia.
Aku bangun ketika burung terbang dan beralih benua
aku dan burung yang telah lama tidur di jiwamu.
Your Breast is Enough
Your breast is enough for my heart,
and my wings for your freedom.
What was sleeping above your soul will rise
out of my mouth to heaven.
In you is the illusion of each day.
You arrive like the dew to the cupped flowers.
You undermine the horizon with your absence.
Eternally in flight like the wave.
I have said that you sang in the wind
like the pines and like the masts.
Like them you are tall and taciturn,
and you are sad, all at once, like a voyage.
You gather things to you like an old road.
You are peopled with echoes and nostalgic voices.
I awoke and at times birds fled and migrated
that had been sleeping in your soul.
Cukup dadamu saja buat hatiku,
dan sayapku untuk kebebasanmu.
Apa yang tertidur di jiwamu kelak
bangun dari mulutku, ke surga menuju.
Padamu ada ilusi segenap hari-hari.
Kau datang seperti embun ke mangkuk bunga-bunga.
Ketika kau tiada, kau guyahkan kaki langit.
Seperti ombak: terbang, mengangkasa, selamanya.
Telah kusabdakan: kau bernyanyi di deru angin
seperti guruh pinus, seperti dentang tiang.
Seperti keduanya, engkau tinggi, berdiam,
dirudung murung. Kau: bagai pelayaran itu.
Kau libatkan segalanya seperti jalanan tua.
Kau dihuni gema-gema dan suara nostalgia.
Aku bangun ketika burung terbang dan beralih benua
aku dan burung yang telah lama tidur di jiwamu.
Your Breast is Enough
Your breast is enough for my heart,
and my wings for your freedom.
What was sleeping above your soul will rise
out of my mouth to heaven.
In you is the illusion of each day.
You arrive like the dew to the cupped flowers.
You undermine the horizon with your absence.
Eternally in flight like the wave.
I have said that you sang in the wind
like the pines and like the masts.
Like them you are tall and taciturn,
and you are sad, all at once, like a voyage.
You gather things to you like an old road.
You are peopled with echoes and nostalgic voices.
I awoke and at times birds fled and migrated
that had been sleeping in your soul.
Lebah Putih
Sajak Pablo Neruda
Lebah putih, kau mendengung di jiwaku, mabuk madu,
angin kibasan sayapmu melingkarkan asap perlahan.
Akulah dia yang tak berharapan, kata tanpa suara gema.
Akulah dia yang kehilangan, dan mendapatkan segalanya.
Pada tambang kapal penghabisan, berderit rinduku.
Pulauku kering, kau di sana bunga mawar terakhirku.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Biarkan ceruk matamu mengatup. Di sana malam gugup.
Ah tubuhmu, patung yang ketakutan. Sempurna telanjang.
Matamu, mata yang dalam, di mana melecut malam.
Lengan dingin bunga-bunga, dan selingkar mawar.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Ada kesunyian itu, tersebab engkau tak ada.
Hujan turun. Angin laut memburu camar tersasar.
Maka tampak payudaramu bagai siput putih.
Kupu-kupu bayang singgah tidur di perutmu.
Di jalanan basah, air melangkah dengan kaki telanjang.
Di pohon itu, dedaunan demam menggerutu.
Lebah putih, ketika kau tak ada pun, kau berdengung di jiwaku
Dalam waktu kau hadir lagi, tak kasat mata, tak bersuara.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
White Bee
White bee, you buzz in my soul, drunk with honey,
and your flight winds in slow spirals of smoke.
I am the one without hope, the word without echoes,
he who lost everything and he who had everything.
Last hawser, in you creaks my last longing.
In my barren land you are the final rose.
Ah you who are silent!
Let your deep eyes close. There the night flutters.
Ah your body, a frightened statue, naked.
You have deep eyes in which the night flails.
Cool arms of flowers and a lap of rose.
Your breasts seem like white snails.
A butterfly of shadow has come to sleep on your belly.
Ah you who are silent!
Here is the solitude from which you are absent.
It is raining. The sea wind is hunting stray gulls.
The water walks barefoot in the wet streets.
From that tree the leaves complain as though they were sick.
White bee, even when you are gone you buzz in my soul
You live again in time, slender and silent.
Ah you who are silent!
Lebah putih, kau mendengung di jiwaku, mabuk madu,
angin kibasan sayapmu melingkarkan asap perlahan.
Akulah dia yang tak berharapan, kata tanpa suara gema.
Akulah dia yang kehilangan, dan mendapatkan segalanya.
Pada tambang kapal penghabisan, berderit rinduku.
Pulauku kering, kau di sana bunga mawar terakhirku.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Biarkan ceruk matamu mengatup. Di sana malam gugup.
Ah tubuhmu, patung yang ketakutan. Sempurna telanjang.
Matamu, mata yang dalam, di mana melecut malam.
Lengan dingin bunga-bunga, dan selingkar mawar.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Ada kesunyian itu, tersebab engkau tak ada.
Hujan turun. Angin laut memburu camar tersasar.
Maka tampak payudaramu bagai siput putih.
Kupu-kupu bayang singgah tidur di perutmu.
Di jalanan basah, air melangkah dengan kaki telanjang.
Di pohon itu, dedaunan demam menggerutu.
Lebah putih, ketika kau tak ada pun, kau berdengung di jiwaku
Dalam waktu kau hadir lagi, tak kasat mata, tak bersuara.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
White Bee
White bee, you buzz in my soul, drunk with honey,
and your flight winds in slow spirals of smoke.
I am the one without hope, the word without echoes,
he who lost everything and he who had everything.
Last hawser, in you creaks my last longing.
In my barren land you are the final rose.
Ah you who are silent!
Let your deep eyes close. There the night flutters.
Ah your body, a frightened statue, naked.
You have deep eyes in which the night flails.
Cool arms of flowers and a lap of rose.
Your breasts seem like white snails.
A butterfly of shadow has come to sleep on your belly.
Ah you who are silent!
Here is the solitude from which you are absent.
It is raining. The sea wind is hunting stray gulls.
The water walks barefoot in the wet streets.
From that tree the leaves complain as though they were sick.
White bee, even when you are gone you buzz in my soul
You live again in time, slender and silent.
Ah you who are silent!
Tuesday, October 26, 2004
Saturday, October 23, 2004
Pada Sebuah Senja di Langitku
Sajak Pablo Neruda
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jatuh cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, milikku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jatuh cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, milikku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
Subscribe to:
Posts (Atom)