Sajak Ikranagara
pada sore ini. bisakah kau dengar suaranya?
gemuruh suara roda dan mesinnya!
wajah sore pun menjelma jadi horror yang menakutkan!
pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!
inilah saatnya
kata-kata
diuji oleh sejarah.
pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!
kata-kata yang ampang
meskipun dalam bentuk puisi yang indah
akan lari berhamburan
dihempaskan angin sore hari
ke sembarang arah
pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!
kata yang menjaga kehidupan
akan berjaga-jaga di semua sudut kota
menanti saat yang tepat untuk melompat
ke dalam tank-tank itu, membekuk para serdadunya.
para komandan lapangan. para jenderal.
para presiden. siapa saja yang bertanggung-jawab
memerintahkan momok senjata ganas ini bergerak
pada sore ini. tapi bukan untuk membunuh mereka.
kami tidak percaya kepada saling bunuh
antara sesama manusia. missi kami
menyelamatkan manusia, dengan memberdayakan kata-kata.
bagi kami kata-katalah yang paling tepat
agar bagian otak damai di batok kepala kita
bisa mengontrol prilaku pintar manusia
termasuk ketika menciptakan puisi.
atau mantra pong …
ah-him himhim himhim him … sah!
yang harus diledakkan
tanyalah tank-tank dan seluruh persenjataan perang
ah-him himhim himhim him … sah!
kita lebur semua itu jadi serbuk bijihbesi berton-ton
ah-him himhim himhim him … sah!
selanjutnya diproses jadi barang yang aman dan berguna
ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa
yang sederhana seperti sepeda roda tiga untuk si bocah
atau pipa. untuk sejuta keperluan, tapi tidak termasuk senjata.
ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa
untuk membangun tempat anak-anak bermain
di taman-taman. agar dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa
pada sore ini. cobalah engkau bayangkan
ketawa penuh canda bocah-bocah kita!
itulah yang bisa membentuk bahagia pada wajah sore hari,
dan bukannya wajah momok penuh horror!
ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa
kita membutuhkan politik ekonomi perdamaian
yang benar-benar konprehensif!
ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa
kita membutuhkan kamar dagang untuk kehidupan yang adil!
ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa
kita membutuhkan akses ekonomi untuk semua orang
agar sirna kemiskinan dan ketimpangan sosial!
ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa
inilah saatnya kata-kata untuk bertindak ambil bagian
pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!
pong … ah-him himhim himhim him … sah!
Bloomington, 2003
* Puisi dengan pesan perdamaian ini dibacakan oleh Ikranagara di beberapa tempat di Amerika termasuk dalam Post-Thanksgiving Poetry Bash.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Sunday, November 30, 2003
Saturday, November 29, 2003
[Ruang Renung # 39] Jangan Takut Bereksperimen
JANGAN takut bereksperimen. William Blake melakukan itu setelah terkenal dengan sajak-sajak mistisnya yang lebih dahulu sudah menyempal dari arus persajakan di Inggris saat itu. Sajak-sajak dalam The Marriage of Hell and Heaven memang sangat eksperimental. Baik dari segi tema, maupun bentuk sajaknya. Pada sajak Proverb from Heaven dia menyenaraikan sejumlah peribahasa. Itulah yang jadi sajak-sajaknya. Pada sajak lain tiap bait diberi nomor layaknya uraian sebuah definisi. Berhasilkah sajak-sajak eksperimen Blake itu? Bisa ya, bisa tidak. Kritikus bisa panjang lebar memberi ulasan. Populerkah sajak-sajak "aneh" itu? Ada pembaca yang suka, dan pasti ada pembaca yang menolak. Tapi, satu hal yang pasti, apa yang dilakukan oleh Blake akan abadi tercatat dalam biografi kepenyairannya.
Maka dari itu, mari kita bereksperimen, jangan takut gagal, jangan takut tidak populer. Jangan takut keluar dari sangkar sajak-sajak kita sendiri. Eksperimen bisa jadi semacam obat kebosanan bagi perjalanan kita menyair.[ha]
Maka dari itu, mari kita bereksperimen, jangan takut gagal, jangan takut tidak populer. Jangan takut keluar dari sangkar sajak-sajak kita sendiri. Eksperimen bisa jadi semacam obat kebosanan bagi perjalanan kita menyair.[ha]
Tentang Seorang Pengemis
SUBUH enggan mempertegas diri. Samar. Sesungguhnya dia memang selalu ragu. Seperti pengemis itu. "Tapi, kali ini, aku harus datang," ujarnya. Datang ke istana penyair yang siang nanti hendak membagi-bagi puisi. Maka, tanpa apa-apa, dia pun berangkat dari gubuk masa kininya. Menuju ke tempat yang kelak di sana berkumpul para pengemis, yang mengharapkan pembagian sehelai puisi, dari seorang penyair yang sudah berkibar mahsyur namanya kemana-mana. Yang sudah menebarkan wangi, keindahan syair-syairnya dari kota ke kota.
PAS menjelang siang. Dia datang. Tepat waktu, teng! Dia melihat penyair itu berdiri anggun di podium di depan rumahnya yang dibangun oleh murid-murid epigon-epigonnya. Seperti hendak berpidato atau berdeklamasi tampaknya. Ah, tak ada salahnya, kata pengemis itu, aku mendengar barang satu dua tumpuk basa-basi sebelum dapat sehelai puisi. Melihat banyak saingan yang datang, pengemis itu mulai gentar, jangan-jangan si penyair kondang itu tak punya stok puisi yang cukup banyak untuk dibagi-bagikan gratis kepada seluruh pengemis itu. Dia melihat pengemis-pengemis yang lain juga mulai berdesak-desakan ingin lebih dahulu dapat kesempatan menerima sehelai puisi gratisan. Seperti dirinya: semua tampak takut tak kebagian.
"SAUDARA-SAUDARA...." ujar penyair kondang itu, akhirnya. Lautan massa hening. Seperti samudera menjelang datang badai. "Sebentar lagi, kami akan membagikan sehelai puisi...."; Tiba-tiba ada yang berteriak, "Toloooong jangan injak sayaaaaaa..."; Lalu kepanikan pun menjalar seperti bubuk mesiu tersulut api; "Saudara-saudara..."; Aaaah... Ada yang terinjak-injak, nih!; "Tenang-tenang, Saudara..."; Lalu semua terkejut oleh sebuah bentakan kasar: Bubar...bubar!; Bererapa salak pistol: Dor! Dor!; Dan, "Kami dari polisi, pengerahan massa ini tak ada izinnya, tolong segera dibubarkan..." Tapi, "Wah, kami belum dapat sehelai....!!"; Menyelinap di antara: Siapa yang bertanggung-jawab?; Ditingkahi suara: "Dor! Dor! Dor!; Dan teriakan: Ini bukan kampanye, Pak! [Bubar! Bubar!] Saya ini cuma penyair; Ada juga: Hati-hati, Pak, waktu pembagian sarung dan zakat kemarin ada empat orang yang mati; Tapi akhinya: Bubaaaaaaaaaaaar! Kalian dengar tidak!
SI PENGEMIS yang berangkat subuh tadi, diam-diam menyingkir. Dengan sisa tenaga melenggang pulang ke gubuk masa lalunya. Sambil menggerutu: huh, mau dapat sehelai puisi saja minta ampun susahnya. Tapi, diam-diam dia bersyukur juga telah memilih jadi pengemis, bukani penyair yang kerap direpotkan oleh puisi-puisi sendiri.
Nov 2003
PAS menjelang siang. Dia datang. Tepat waktu, teng! Dia melihat penyair itu berdiri anggun di podium di depan rumahnya yang dibangun oleh murid-murid epigon-epigonnya. Seperti hendak berpidato atau berdeklamasi tampaknya. Ah, tak ada salahnya, kata pengemis itu, aku mendengar barang satu dua tumpuk basa-basi sebelum dapat sehelai puisi. Melihat banyak saingan yang datang, pengemis itu mulai gentar, jangan-jangan si penyair kondang itu tak punya stok puisi yang cukup banyak untuk dibagi-bagikan gratis kepada seluruh pengemis itu. Dia melihat pengemis-pengemis yang lain juga mulai berdesak-desakan ingin lebih dahulu dapat kesempatan menerima sehelai puisi gratisan. Seperti dirinya: semua tampak takut tak kebagian.
"SAUDARA-SAUDARA...." ujar penyair kondang itu, akhirnya. Lautan massa hening. Seperti samudera menjelang datang badai. "Sebentar lagi, kami akan membagikan sehelai puisi...."; Tiba-tiba ada yang berteriak, "Toloooong jangan injak sayaaaaaa..."; Lalu kepanikan pun menjalar seperti bubuk mesiu tersulut api; "Saudara-saudara..."; Aaaah... Ada yang terinjak-injak, nih!; "Tenang-tenang, Saudara..."; Lalu semua terkejut oleh sebuah bentakan kasar: Bubar...bubar!; Bererapa salak pistol: Dor! Dor!; Dan, "Kami dari polisi, pengerahan massa ini tak ada izinnya, tolong segera dibubarkan..." Tapi, "Wah, kami belum dapat sehelai....!!"; Menyelinap di antara: Siapa yang bertanggung-jawab?; Ditingkahi suara: "Dor! Dor! Dor!; Dan teriakan: Ini bukan kampanye, Pak! [Bubar! Bubar!] Saya ini cuma penyair; Ada juga: Hati-hati, Pak, waktu pembagian sarung dan zakat kemarin ada empat orang yang mati; Tapi akhinya: Bubaaaaaaaaaaaar! Kalian dengar tidak!
SI PENGEMIS yang berangkat subuh tadi, diam-diam menyingkir. Dengan sisa tenaga melenggang pulang ke gubuk masa lalunya. Sambil menggerutu: huh, mau dapat sehelai puisi saja minta ampun susahnya. Tapi, diam-diam dia bersyukur juga telah memilih jadi pengemis, bukani penyair yang kerap direpotkan oleh puisi-puisi sendiri.
Nov 2003
[Ruang Renung # 36] Puisi yang Tak Selesai
PASTI ada suatu kali nanti, kita akan tidak mampu menyelesaikan puisi yang tengah kita tulis. Padahal di awalnya ada ilham yang begitu kuat dorongannya untuk menuliskan puisi tersebut. Atau memang dari semula kita tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menuliskan puisi itu. Hasilnya sama saja: mentok!
Diapakan harusnya kebuntuan seperti ini? Hentikan saja dulu menulis. Cobalah mencari ide untuk puisi lain. Atau lakukan hal lain selain menulis puisi. Simpan saja puisi yang gagal tadi. Lalu tengoklah lagi suatu saat nanti. Biasanya - dan siapa tahu - nanti akan datang lagi ide lain untuk menyelesaikan puisi yang tertangguhkan itu.[hah]
Diapakan harusnya kebuntuan seperti ini? Hentikan saja dulu menulis. Cobalah mencari ide untuk puisi lain. Atau lakukan hal lain selain menulis puisi. Simpan saja puisi yang gagal tadi. Lalu tengoklah lagi suatu saat nanti. Biasanya - dan siapa tahu - nanti akan datang lagi ide lain untuk menyelesaikan puisi yang tertangguhkan itu.[hah]
Perdebatan antara X dan Y
X : Kenapa kita tidak menetap saja di sini, tak musti
    disiksa oleh jarak-jarak yang kita bikin sendiri, tak
    harus merancang perjalanan, memburu tiket dan
    berebut tempat duduk di kendaraan yang selalu
    pura-pura ramah? Kenapa kita tidak menyimpulkan
    saja bahwa di sekarang kita ini, adalah rumah yang
    tak harus kita tinggalkan lagi?
Y: Kenapa kita tidak berumah saja pada sepatu kita yang tak
    pernah ingin berhenti? Melepas tamu dan dilepas sebagai
    tamu juga di setiap terminal, stasiun dan bandar-bandar
    yang kita temui dalam perjalanan kita? Kenapa kita tidak
    merindukan saja setiap kejutan, menemukan kita yang lain
    yang menceritakan perjalanan sendiri yang tak pernah
    ada dalam rute petualangan kita?
X: Kenapa tidak kita akui saja bahwa kita sudah lelah,
    usia dalam ransel yang tak sempat kita hitung lagi,
    entah di mana tercecernya? Entah sudah kita tukar
    dengan apa, entah kita sia-siakan dengan siapa...
Y: Kita memang lelah. Tapi ini bukan soal menang atau kalah.
    Ini soal melangkah, hidup yang harus diberi jawaban, juga
    hidup yang terus menerus mengajukan pertanyaan. Dan usia?
    Apa lagi yang ingin kita tanyakan perihal hitung-hitungan yang
    kelak pasti akan selesai juga urusannya?
X: Kenapa kita tidak kita akui saja bahwa kita sudah terlalu tua,
    untuk menyebut kalimat: "Lihat, aku masih terlalu kuat, telah
    kutaklukkan dia Waktu sang Goliath, telah kubuktikan siapa
    yang akhirnya menang, siapa selamat, siapa sekarat!"
Y: Kita memang telah tua. Tapi ini bukan menutup kemungkinan
    kita untuk menabur biji-biji asam di tepi setiap jalan yang
    memberikan diri bagi lalunya kita, setiap jalan yang menyapa:
    "Selamat Datang, Saudara, Selamat Jalan, Saudara. Supaya
    abadi, jejak sepatumu akan kami titipkan saja pada hujan yang
    kelak akan lewat. Dia atau Engkau yang nanti menunggu
    di muara? Ah, terserahlah saja. Yang penting hati-hati, ya."
X: Nah, lihat! Kenapa kita tidak berhenti membuat orang lain
    mencemaskan kita?
Y: Lalu kapan kita bisa berhenti mencemaskan diri sendiri?
Nov 2003
    disiksa oleh jarak-jarak yang kita bikin sendiri, tak
    harus merancang perjalanan, memburu tiket dan
    berebut tempat duduk di kendaraan yang selalu
    pura-pura ramah? Kenapa kita tidak menyimpulkan
    saja bahwa di sekarang kita ini, adalah rumah yang
    tak harus kita tinggalkan lagi?
Y: Kenapa kita tidak berumah saja pada sepatu kita yang tak
    pernah ingin berhenti? Melepas tamu dan dilepas sebagai
    tamu juga di setiap terminal, stasiun dan bandar-bandar
    yang kita temui dalam perjalanan kita? Kenapa kita tidak
    merindukan saja setiap kejutan, menemukan kita yang lain
    yang menceritakan perjalanan sendiri yang tak pernah
    ada dalam rute petualangan kita?
X: Kenapa tidak kita akui saja bahwa kita sudah lelah,
    usia dalam ransel yang tak sempat kita hitung lagi,
    entah di mana tercecernya? Entah sudah kita tukar
    dengan apa, entah kita sia-siakan dengan siapa...
Y: Kita memang lelah. Tapi ini bukan soal menang atau kalah.
    Ini soal melangkah, hidup yang harus diberi jawaban, juga
    hidup yang terus menerus mengajukan pertanyaan. Dan usia?
    Apa lagi yang ingin kita tanyakan perihal hitung-hitungan yang
    kelak pasti akan selesai juga urusannya?
X: Kenapa kita tidak kita akui saja bahwa kita sudah terlalu tua,
    untuk menyebut kalimat: "Lihat, aku masih terlalu kuat, telah
    kutaklukkan dia Waktu sang Goliath, telah kubuktikan siapa
    yang akhirnya menang, siapa selamat, siapa sekarat!"
Y: Kita memang telah tua. Tapi ini bukan menutup kemungkinan
    kita untuk menabur biji-biji asam di tepi setiap jalan yang
    memberikan diri bagi lalunya kita, setiap jalan yang menyapa:
    "Selamat Datang, Saudara, Selamat Jalan, Saudara. Supaya
    abadi, jejak sepatumu akan kami titipkan saja pada hujan yang
    kelak akan lewat. Dia atau Engkau yang nanti menunggu
    di muara? Ah, terserahlah saja. Yang penting hati-hati, ya."
X: Nah, lihat! Kenapa kita tidak berhenti membuat orang lain
    mencemaskan kita?
Y: Lalu kapan kita bisa berhenti mencemaskan diri sendiri?
Nov 2003
[Ruang Renung # 37] Mengenal Bentuk-bentuk Sajak
SAMBIL menulis puisi sebebas-bebasnya, perlu juga menengok bentuk-bentuk baku penulisan puisi. Ya, kita perlu tahu bahwa dalam pantun ada sampiran dan isi, ada ketentuan untuk patuh pada bunyi di akhir tiap baris. Kita perlu menyelidik apa bedanya kuatrin, rubaiat dan pantun yang sama-sama empat baris sebait. Kita perlu mahfum tentang soneta yang empat belas baris dan varian-variannya yang membagi delapan baris paparan dan enam baris kesan perasaan. Kita juga perlu mengenal ghazal, bentuk puisi lama yang banyak ditulis oleh penyair klasik di Persia, India dan Pakistan. Juga haiku, sajak pendek padat dari khazanah sasta Jepang.
YA, kita perlu tahu agar kita bisa bersetia pada bentuk-bentuk itu bila memang kita ingin menulis sajak dalam bentuk-bentuk yang kita pilih. Atau apabila kita ingin mempermainkannya, mengkhianatinya, menjungkirbalikkannya, mengolah bentuk-bentuk itu secara kreatif. Keberhasilan, atau kegagalan sajak-sajak kita bisa juga diukur dari kemahiran kita menyiasati bentuk-bentuk itu. Chairil Anwar, pada sebagian sajak-sajak periode akhirnya, dinilai berhasil mengatasi konvensi-konvensi puisi. Dia menulis sajak bebas dan tak terasakan sajak-sajaknya justru hadir pas dalam bentuk pantun yang ketat. Wing Kardjo (?) juga menulis soneta-soneta yang bukan soneta, sehingga bukunya dia beri judul: Memperkosa Soneta.[hah]
YA, kita perlu tahu agar kita bisa bersetia pada bentuk-bentuk itu bila memang kita ingin menulis sajak dalam bentuk-bentuk yang kita pilih. Atau apabila kita ingin mempermainkannya, mengkhianatinya, menjungkirbalikkannya, mengolah bentuk-bentuk itu secara kreatif. Keberhasilan, atau kegagalan sajak-sajak kita bisa juga diukur dari kemahiran kita menyiasati bentuk-bentuk itu. Chairil Anwar, pada sebagian sajak-sajak periode akhirnya, dinilai berhasil mengatasi konvensi-konvensi puisi. Dia menulis sajak bebas dan tak terasakan sajak-sajaknya justru hadir pas dalam bentuk pantun yang ketat. Wing Kardjo (?) juga menulis soneta-soneta yang bukan soneta, sehingga bukunya dia beri judul: Memperkosa Soneta.[hah]
Sajak Penyair Mau Mudik
PULANG dari memberi ceramah di sebuah workshop penulisan puisi, penyair itu bertemu dengan serombongan kata yang dipimpin oleh kata tanya, hari belum begitu senja. Tapi, perjalanan sudah sepi. "Wah, mau kemana kalian," kata penyair itu ramah menyapa kepada kata-kata yang sudah lama diakrabinya. "Kamu mau mudik, memangnya mau kemana lagi!" ujar kata seru. "Ya, kami capek, mengembara dari kamus ke kamus dari sajak ke sajak, tapi tak juga bisa memahami arti diri kami yang sesunguhnya," ujar sebuah kata benda. "Lagi pula, sudah lama kami tidak sungkeman sama orang tua," kata sebuah kata kerja.
LALU, kata-kata itu berpamitan meninggalkan penyair yang pura-pura tabah itu, padahal hatinya sungguh gundah sangat gulana. Diam-diam dia sebenarnya ingin menguntit kemana gerangan rombongan kata itu pulang, di mana rumahnya dan di siapa orang tua mereka sesungguhnya. Tapi, dia teringat kalimat yang dia ucapkan di depan peserta workshop penulisan puisi tadi, kalimat yang dikutipnya dari sajak Sapardi: sebermula adalah kata, baru perjalanan dari kota ke kota. Dia pun bergegas pulang ke rumahnya sendiri, teringat kamus dan peta di kamar pertapaannya yang sudah lama tak pernah dibuka-buka. "Saya juga mau mudik, aah!" kata penyair itu bergumam sendiri.
Ied Alfitri, 1 Syawal 1424.
LALU, kata-kata itu berpamitan meninggalkan penyair yang pura-pura tabah itu, padahal hatinya sungguh gundah sangat gulana. Diam-diam dia sebenarnya ingin menguntit kemana gerangan rombongan kata itu pulang, di mana rumahnya dan di siapa orang tua mereka sesungguhnya. Tapi, dia teringat kalimat yang dia ucapkan di depan peserta workshop penulisan puisi tadi, kalimat yang dikutipnya dari sajak Sapardi: sebermula adalah kata, baru perjalanan dari kota ke kota. Dia pun bergegas pulang ke rumahnya sendiri, teringat kamus dan peta di kamar pertapaannya yang sudah lama tak pernah dibuka-buka. "Saya juga mau mudik, aah!" kata penyair itu bergumam sendiri.
Ied Alfitri, 1 Syawal 1424.
Tentang Seorang Tukang Catat Meteran Listrik
BEGITULAH, hidupnya seperti sudah diukur dan dia tinggal mengepaskannya. Setiap bulan dia berkeliling dari rumah ke rumah, hanya untuk menengok dan lalu mencatat angka-angka pada meteran listrik. Hanya untuk itu? Ah, dia tak pernah bertanya dengan pertanyaan itu, pertanyaan yang hanya akan memojokkan dirinya sendiri.
DIA sangat menikmati pekerjaannya. Setidaknya begitulah perkiraan orang-orang di rumah yang dia kunjungi sekali sebulan itu. Karena kerap kali mereka mendengar Bapak Pencatat Meteran listrik itu bersiul-siul sambil membuka kotak meteran, memastikan berapa angka yang tertera di situ dan mencatatnya. Siulnya pun tak banyak variasi. Paling-paling lagu Engkau Laksana Bulan dari P Ramlee [yang kadang dia nyanyikan syairnya]:.. Oh, Tuhanku, mengapakah kau tinggalkan dirikuuuuu.... Atau lagu D'Loyd: Ibarat Air di Daun Keladi.
DIA cocokkan nomor-nomor rumah, nomor kontrak pelanggan [keduanya musti sama tak pernah berubah] dan angka pemakaian listrik [yang selalu bertambah tiap kali dia berkunjung datang]. Begitulah, seperti semuanya sudah ditakar baginya.
TAK banyak yang mengenal namanya. Kecuali nama yang sudah disebutkan di bait kedua tadi. Ya, orang menyebutnya: Bapak Pencatat Meteran. Jarang sekali ada yang mengajaknya bercakap-cakap. Karena memang tak ada perlunya. Lagipula di kota itu, khususnya di kompleks-kompleks perumahan yang menjadi wilayah kekuasaannya sebagai pencatat meteran, jarang ada pemilik rumah yang ada di rumah saat dia datang mencatat.
PALING-PALING dia disambut gonggongan anjing penjaga [biasanya anjing baru yang sok galak], atau godaan pembantu rumah tangga yang menyalurkan bakat genitnya. "Maaaas, sekali-sekali catat yang lain, dong. Nomor BH kita misalnya, atau nomor apaaa gitu..." He he he. Dia paling hanya nyengir-nyengir unta. Dan terus berlalu setelah selesai mencatat angka pemakaian listrik di rumah itu.
BEGITULAH, sepertinya semua sudah diskenariokan untuk diperankannya. Dia betah menjalani takdir itu. Habis mau apa lagi, ya, Pak? Lagi pula, katanya, untuk sekedar berbetah-betah, apa sih susahnya? Lagi pula, ini pekerjaan nyaris tak ada risikonya. Paling-paling sesekali dimarahi oleh pemilik rumah yang kaget tagihan listriknya melonjak. "Bapak salah catat, ya? Sengaja ditambah-tambahi, ya?!" He he. Itu pertanyaan sia-sia. Apa untungnya saya melebih-lebihkan? Apa bisa korupsi dari angka meteran listrik? He he.
LALU, pada akhirnya. Pada suatu malam menjelang dia bertugas mencatat meteran listrik keesokan paginya, Bapak Pencatat Meteran itu bermimpi. Dia jarang bermimpi sesungguhnya. Karena itu dia merasa sangat terganggu. Apa lagi, mimpinya itu sangat lucu: Dia berubah jadi rumah, dengan nomor yang sangat dia kenal tertera pada pintu. Lalu datanglah seorang pencatat meteran yang berseragam lucu seperti yang biasa dipakainya. Dan petugas itu menyapanya ramah sekali, " Permisi Pak eh Rumah, saya mau mencatat angka di meteran Anda. Ini bukan meteran listrik bukan?"
DIA tidak tahu apa takwil mimpinya itu. Mimpi yang kelak selalu datang berulang setiap kali dia
mampi di rumah-rumah yang entah sudah berapa kali disinggahinya. Dan pada suatu pagi dia terbangun, tanpa membawa mimpi semalam, dan dia ingiiiiin sekali pamitan kepada setiap meteran dan kepada setiap anjing dan kepada setiap pembantu yang selalu dijumpainya di rumah yang setiap bulan selalu dikunjunginya.
Nov 2003
DIA sangat menikmati pekerjaannya. Setidaknya begitulah perkiraan orang-orang di rumah yang dia kunjungi sekali sebulan itu. Karena kerap kali mereka mendengar Bapak Pencatat Meteran listrik itu bersiul-siul sambil membuka kotak meteran, memastikan berapa angka yang tertera di situ dan mencatatnya. Siulnya pun tak banyak variasi. Paling-paling lagu Engkau Laksana Bulan dari P Ramlee [yang kadang dia nyanyikan syairnya]:.. Oh, Tuhanku, mengapakah kau tinggalkan dirikuuuuu.... Atau lagu D'Loyd: Ibarat Air di Daun Keladi.
DIA cocokkan nomor-nomor rumah, nomor kontrak pelanggan [keduanya musti sama tak pernah berubah] dan angka pemakaian listrik [yang selalu bertambah tiap kali dia berkunjung datang]. Begitulah, seperti semuanya sudah ditakar baginya.
TAK banyak yang mengenal namanya. Kecuali nama yang sudah disebutkan di bait kedua tadi. Ya, orang menyebutnya: Bapak Pencatat Meteran. Jarang sekali ada yang mengajaknya bercakap-cakap. Karena memang tak ada perlunya. Lagipula di kota itu, khususnya di kompleks-kompleks perumahan yang menjadi wilayah kekuasaannya sebagai pencatat meteran, jarang ada pemilik rumah yang ada di rumah saat dia datang mencatat.
PALING-PALING dia disambut gonggongan anjing penjaga [biasanya anjing baru yang sok galak], atau godaan pembantu rumah tangga yang menyalurkan bakat genitnya. "Maaaas, sekali-sekali catat yang lain, dong. Nomor BH kita misalnya, atau nomor apaaa gitu..." He he he. Dia paling hanya nyengir-nyengir unta. Dan terus berlalu setelah selesai mencatat angka pemakaian listrik di rumah itu.
BEGITULAH, sepertinya semua sudah diskenariokan untuk diperankannya. Dia betah menjalani takdir itu. Habis mau apa lagi, ya, Pak? Lagi pula, katanya, untuk sekedar berbetah-betah, apa sih susahnya? Lagi pula, ini pekerjaan nyaris tak ada risikonya. Paling-paling sesekali dimarahi oleh pemilik rumah yang kaget tagihan listriknya melonjak. "Bapak salah catat, ya? Sengaja ditambah-tambahi, ya?!" He he. Itu pertanyaan sia-sia. Apa untungnya saya melebih-lebihkan? Apa bisa korupsi dari angka meteran listrik? He he.
LALU, pada akhirnya. Pada suatu malam menjelang dia bertugas mencatat meteran listrik keesokan paginya, Bapak Pencatat Meteran itu bermimpi. Dia jarang bermimpi sesungguhnya. Karena itu dia merasa sangat terganggu. Apa lagi, mimpinya itu sangat lucu: Dia berubah jadi rumah, dengan nomor yang sangat dia kenal tertera pada pintu. Lalu datanglah seorang pencatat meteran yang berseragam lucu seperti yang biasa dipakainya. Dan petugas itu menyapanya ramah sekali, " Permisi Pak eh Rumah, saya mau mencatat angka di meteran Anda. Ini bukan meteran listrik bukan?"
DIA tidak tahu apa takwil mimpinya itu. Mimpi yang kelak selalu datang berulang setiap kali dia
mampi di rumah-rumah yang entah sudah berapa kali disinggahinya. Dan pada suatu pagi dia terbangun, tanpa membawa mimpi semalam, dan dia ingiiiiin sekali pamitan kepada setiap meteran dan kepada setiap anjing dan kepada setiap pembantu yang selalu dijumpainya di rumah yang setiap bulan selalu dikunjunginya.
Nov 2003
Menara Cahaya
Sajak Pablo Neruda
O menara cahaya, kemurungan yang indah
mempertegas kalung di dada dan patung di laut,
mata yang berkapur, lencana air mahaluasnya, tangis
duka cita burung laut, gigi-gigi laut, yang diperistri
angin Samudera, O mawar yang terpisahkan
dari tangkai yang jauh semak yang terinjak-injak
di kedalaman itu, bertukar rupa jadi pulau-pulau,
O bintang alami, mahkota hijau,
seorang diri di kerajaanmu yang sendiri sepi,
tinggal tak tergapai, mengelak, senyap sunyi,
seperti tetes air, seperti butir anggur, seperti laut.
O menara cahaya, kemurungan yang indah
mempertegas kalung di dada dan patung di laut,
mata yang berkapur, lencana air mahaluasnya, tangis
duka cita burung laut, gigi-gigi laut, yang diperistri
angin Samudera, O mawar yang terpisahkan
dari tangkai yang jauh semak yang terinjak-injak
di kedalaman itu, bertukar rupa jadi pulau-pulau,
O bintang alami, mahkota hijau,
seorang diri di kerajaanmu yang sendiri sepi,
tinggal tak tergapai, mengelak, senyap sunyi,
seperti tetes air, seperti butir anggur, seperti laut.
Penyair Patah Hati
NAH, akhirnya dia patah hati juga. "Betapa nikmatnya, Saudara.
Ini patah hati yang langka, lho.." katanya. Sakit yang dia lacak
jejaknya kemana-mana, akhirnya datang sendiri mencuri
rintih sembunyi. "Asyik," katanya, "sepertinya saya akan betah
diam di sini." Dia sebenarnya sudah bersiap pergi lagi. Dari rumah
ke rumah, bertanya kepada semua penghuni, "Adakah aku yang
tertinggal di sini?" Tentu saja, tak ada jawabnya. Di dadanya,
menerowong pintu guha. Gelap. Langkah datang mengendap-endap.
NAH, akhirnya dia masuk juga ke situ. Berkunjung ke tempat
yang dulu begitu akrab dengan kaki-kakinya. "Jejakku sendirikah
yang merebak baunya di lorong-lorong tak bercahaya ini?" katanya
kepada gema yang kali ini malah balik betanya: "Kau siapa? Kok
berani-beraninya bertanya?" Dia pun tertawa-tawa, langsung lupa dengan
patah hatinya. Ya, katanya dalam hati, kali ini aku pasti tak salah lagi.
Sejak itu, dia pun tak pernah keluar lagi. Ada yang bilang dia sedang mati,
"Tidak, dia sudah tertidur, dan asyik mimpi menulis puisi lamaaa sekali."
Nov 2003
Ini patah hati yang langka, lho.." katanya. Sakit yang dia lacak
jejaknya kemana-mana, akhirnya datang sendiri mencuri
rintih sembunyi. "Asyik," katanya, "sepertinya saya akan betah
diam di sini." Dia sebenarnya sudah bersiap pergi lagi. Dari rumah
ke rumah, bertanya kepada semua penghuni, "Adakah aku yang
tertinggal di sini?" Tentu saja, tak ada jawabnya. Di dadanya,
menerowong pintu guha. Gelap. Langkah datang mengendap-endap.
NAH, akhirnya dia masuk juga ke situ. Berkunjung ke tempat
yang dulu begitu akrab dengan kaki-kakinya. "Jejakku sendirikah
yang merebak baunya di lorong-lorong tak bercahaya ini?" katanya
kepada gema yang kali ini malah balik betanya: "Kau siapa? Kok
berani-beraninya bertanya?" Dia pun tertawa-tawa, langsung lupa dengan
patah hatinya. Ya, katanya dalam hati, kali ini aku pasti tak salah lagi.
Sejak itu, dia pun tak pernah keluar lagi. Ada yang bilang dia sedang mati,
"Tidak, dia sudah tertidur, dan asyik mimpi menulis puisi lamaaa sekali."
Nov 2003
Subscribe to:
Posts (Atom)