Monday, November 3, 2003

Chuang Tzu dan Kupu-kupu

Syair Li Po



Dalam mimpinya, Chuang Tzu menjadi kupu-kupu

Dan ketika bangun kupu-kupu menjadi Chuang Tzu.

Manakah yang nyata--kupu-kupu atau manusia?

Siapa yang tahu akhir kita yang terus ganti berganti?

Air yang mengalir ke dalam laut yang nun jauhnya

Segera kembali ke alir sungai dangkal tembus tatap.

Dia, yang menanam melon di luar gerbang hijau kota,

adalah dia yang dulu Pangeran dari Bukit Timur.

Maka, mestinya derajat dan kekayaan itu tak ada.

Kau tahu, tapi masih saja kau keras bekerja,--buat apa?



[Ruang Renung # 24] Antara Komlpleks dan Rumit

Banyak pembaca yang tidak sabar dengan puisi. Ada juga yang putus asa ketika mencoba mengerti sebuah puisi. Lebih banyak lagi yang akhirnya tak peduli dengan puisi. Kenapa? Bisa jadi karena memang sang puisi yang tidak bermuatan apa-apa, egois, asyik sendiri, hanya sekadar berindah-indah, asal aneh dan rumit.



Ya, rumit. Puisi memang bukan kalimat-kalimat dalam pengumuman, poster atau selebaran. Pada yang tiga itu kata-kata harus mudah dimengerti. Siapapun yang membaca harus mendapatkan pengertian yang sama. Kalau tidak maka dia bukan pengumuman yang baik. Sebaliknya, puisi yang baik harus bisa membuat dirinya sedemikian rupa, sehingga setiap orang yang berbeda bisa memaknainya dengan makna yang berbeda. Dia mestinya hanya merangsang pembaca, membuat pembaca bangkit kenangannya, tergugah semangatnya, tersentuh perasaannya, sementara itu kita sendiri yang menuliskannya mestinya juga seperti sudah menuntaskan sebuah "tugas rahasia". Sudah selesai menyusun kode yang kompleks sehingga kita sendiri dan pembaca lain kemudian tergoda untuk menebak-nebak kode itu.



Ya, antara rumit dan kompleks. Yang rumit adalah puisi yang buruk. Puisi yang baik adalah dia yang menawarkan kompleksitas. "Semuanya kompleks; kalau tidak begitu, maka hidup dan puisi dan segala sesuatu yang lainnya akan jadi membosankan, " ujar penyair Wallace Stevens. [ha]

Di Jingmen Ferry, Kawan Pergi

Syair Li Po



Jauh sekali berlayar dari Jingmen Ferry,

Segera kau sampai, bertemu orang-orang selatan,

Di sana pegunungan tak ada dan dataran membentang

Dan angin sungai menembus lewat hutan...

Bulan menyingsing seperti cermin,

Kabut-laut berkilauan seperti istana,

Dan air mengirim padamu hangat sentuh rumah

Menghela jauh perahumu tiga ratus mil.



Di Teras Bangau Kuning, Mengucap

Selamat Tinggal bagi Meng Hao-jan,

yang Pergi dari Kuang-ling*




Syair Li Po



Di Teras Bangau Kuning di sebelah timur

     engkau terpisah dari aku,

Pergi berlajar ke Yang-chou menembus kabut

    bunga-bunga bulan April.

Bentuk samar kapal layarmu kesepian

    lebur dalam warna biru kosong--

Aku hanya bisa melihat Sungai Besar

     menderas arus ke gigir langit.



* Kuang-ling nama lain untuk Yang-chou








[Ruang Renung # 23] Konon Sutardji

Cerita tentang penyair Sutardji Calzhoum Bachri. Pria kelahiran Rengat itu juga kesusahan ketika mulai mempublikasikan sajak-sajaknya. Karena saat itu, karya-karya memang menentang arus besar model sajak yang lagi jadi tren. Tak mengikut sajak-sajak yang pada masa itu merajai majalah-majalah sastra. Konon pula saat itu selera para redaktur sedang seragam. Maka kemanapun Tardji menawarkan sajaknya, yang ada cuma penolakan dan penolakan lagi.



Tapi, untunglah dia sudah teramat yakin saat itu bahwa hasil karyanya punya nilai. Mungkin karena itu pula dia kemudian melengkapi sajak-sajaknya dengan kredo bagi sajak-sajaknya seperti yang kita baca dalam kumpulan O, Amuk, Kapak. Mungkin dia letih setiap kali harus menjelaskan untuk meyakinkan orang lain, ihwal sajak-sajaknya.



Tapi, untunglah kemudian, ada seorang penyair lain di sebuah majalah sastra saat itu yang ngotot membela dan menerbitkan sajaknya. "Kalau tidak kita akan kehilangan besar, bukan?" kata penyair Ikranagara yang memberi kabar itu.



"Di majalah Horison saya tulis dalam 'curriculum vitae tarji' tentang penolakan HB Jassin terhadap puisi Tardji. Tapi redaktur lain, Taufiq Ismail ngotot untuk memuatnya. Dan Taufiq berhasil. Teew juga menolak," kata Ikranagara yang kini menetap di Bloomington dan berkabar lewat email dan sesekali singgah di situs Sejuta Puisi ini. (Terima kasih, Pak Ikra, HA).



Jadi, kalau yakin ada sesuatu yang istimewa dalam sajak kita, jangan jadi bimbang karena penolakan-penolakan redaktur media ke mana kita mengirim sajak. Mungkin saja seleranya sedang seragam. Atau kita berkompromi saja menulis sajak dengan selera mereka?[ha]



Ke Puncak Rumah Jiwamu

O peziarah Kabah! Kau dimana? Kau dimana?

Kekasih telah ada disini, kau kembalilah!

Kekasih-mu telah kembali bersisian rumah;

Apa yang kau cari, di padang pasir itu?



Jika kau temu wujud tak berujud bentuk Kekasih

Maka kaulah sang tuan, rumah itu, dan Kabah itu.

Lewat jalan yang sama, sepuluh kali kau tiba di Kabah;

Dan sekali saja kau mendaki ke puncak rumah jiwamu.



Diwan 648:1-4 karya Jalaluddin Rumi

Judul dari HA








Sunday, November 2, 2003

Sepotong Batam

pasar sayur

masjid di komplek perumahan

pangkalan ojek

jembatan pejalan kaki

lapangan golf

hutan lindung

taman di lembah jalan

dam Seiladi

pura di atas bukit

keluar masuk kendaraan proyek

rawa bakau diuruk:

perguruan tinggi

lampu merah

rumah duka marga tionghoa

di seberangnya sekolah kejuruan

lalu sebuah perumahan

hotel di puncak bukit

simpang jam

rumah sakit

ada juga pasar malam

di sebelahnya plaza internasional

lalu kedai masakan minang



adakah yang mau tahu,

rumah-rumah liar itu, dimana?



Nov 2003

Rumah Oda

Sajak Pablo Neruda



Kutulis

Lirik puji: oda ini

di ini tahun

sembilan belas

limapuluh lima,

bersiap, bertetap

pada pintaku, lirih lira,

aku yang aku tahu

dan kemana alun nyanyiku.

Aku pun mengerti

si pemuja mitos-mitos

dan kisah misteri

boleh saja singgah masuk

ke hutanku

dan membangun

rumah bagi lirik puji: oda ini,

boleh saja memandang rendah

pada semua perkakas.

potret ayah

potret ibu dan potret kampung

yang tergantung di dinding,

kesederhanaan bentuk

roti dan toples garam. Tapi

itulah yang hadir, ada di rumah pujiku: rumah oda ini.

Telah kupecat disini, penguasa negara yang jahat,

alun ombak helai rambut mimpi,

Kutempuh langkah pada ekornya

reptil yang berotak,

dan kutata benda-benda

-- air dan api --

dalam harmoni dengan manusia dan bumi.

Aku ingin segalanya

punya

gagang,

Aku ingin segalanya menjadi

mangkuk atau alat-alat apa saja.

Aku ingin orang-orang merasuk ke perkakas

tersimpan masuk lewat pintu: rumahku, rumah oda ini.

Aku bekerja

memotong

kayu yang baru ditebang,

menyimpan madu

dalam tong-tong kecil,

mengatur letak

ladam, pelana,

garpu-garpu:

Aku ingin semua orang datang kesini,

mendengar mereka bertanya,

mereka mau bertanya apa saja.

Aku ini dari Selatan, seorang Chili,

pelaut yang

dipulangkan samudera-samudera.

Aku tidak tinggal di kepulauan,

bukan raja.

Aku tidak tinggal bersedap diri

di tanah mimpi-mimpi.

Aku kembali ke ruang kerja, bersama

orang-orang lainnya,

untuk orang semuanya.

Maka, setiap orang boleh

tinggal di sini,

karena kubangun rumahku

dengan oda: syair puji

rumah yang tembus cahaya.





Anggur tak Terwadahi Gelas

O kekasih! O kekasih! Hilang sudah gelasku!

Aku telah mencicipi anggur yang tak terwadahi gelas.

Aku mabuk dengan anggur min ladunn**, dan

kabarkan pada sang jaksa itu.

Agar kaurasa juga, kubawa untuknya-untukmu anggur itu!

Agar kaurasa juga, kubawa untuknya-untukmu anggur itu!

O raja kebenaran! Telah kau temuikah penyemu ulung seperti aku?

Dengan hidup pelayan-pelayanmu aku hidup

Dengan orang-orang yang mati aku pun mati!

Dengan kemolekan hati menggairahkan,

mekar aku bagai bunga-bunga perdu

dengan hati yang dingin menolakmu,

hilang gairahku bagai musim luruh.



(Dari Diwani Shams, 1371:1-4, Jalaluddin Rumi)

* Judul dari HA





* *Merujuk kepada konsep sufi 'ilm-i ladunni (sebuah pengetahuan tentang kehadiran Tuhan) merujuk ke Alquran Surah 18 ayat 65: ...waallahumnahu min ladunna 'ilman (...dan kami berkahi mereka dengan ilmu dari kami sendiri).








[Ruang Renung # 21] Ada Apa dengan Sajak Cinta?

Jangan menganggap sajak cinta itu gampang dibuat. Peringatan itu datang dari penyair Jerman Rainer Maria Rilke. Kebanyakan penyair muda tergoda dengan tema ini. Padahal, kata Rilke, perlu kedalaman menuliskannya, kalau ingin menghasilkan sajak yang istimewa. Soalnya, sajak bertema cinta ini sudah terlalu banyak ditulis. Maka, pesan Rilke, hindari tema sajak ini, karena kalau kau paksa juga akan ada kesan terlalu gampangan dan terlalu biasa. Padahal puisi cinta itu sesungguhnya sangat sulit dibuat. Puisi cinta menuntut kekuatan yang penuh, perlu kematangan penulis, hingga perlu benar-benar tercipta puisi yang individual, dan kaya rasa.



Puisi cinta itu jebakan. Dia memukau, sehingga seolah-olah urusan cintalah yang paling berhak dituliskan jadi puisi. Puisi cinta memang paling mudah menular seperti wabah. Dalam kondisi tertular semua nampak indah di mata, tapi yang dihasilkan paling-paling hanya keluh kesah, ungkapan-ungkapan basi, atau sekadar ucapan berkasih-kasihan, berpuji-pujian, kangen-kangenan. Sekadar jadi sajak yang cengeng. Tidak istimewa.



Bukannya tidak boleh ditulis, tapi ya itu tadilah, hindari jebakan-jebakan. Penyair-penyair besar juga menggarap tema ini. Pablo Neruda punya 20 Love Poetry. Octavio Paz menghasilkan buku An Erotic Beyond The Sade. Shakespeare juga menulis soneta-soneta dengan tema cinta kasih. Cermati karya-karya mereka. Juga penyair besar lainnya. Bagaimana cinta hadir dan hidup dalam bait-bait sajak mereka. [ha]