Monday, December 4, 2006

[Tadarus Puisi # 014] Joko Berdang Pinurbo Berdut

Dangdut
Sajak Joko Pinurbo

(1)

Sesungguhnya kita ini penggemar dangdut.
Kita suka menggoyang-goyang memabuk-mabukkan kata
memburu dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut.

(2)

Pada pejoget dangdut sudah tumbang dan terkulai satu demi satu,
kemudian tertidur di baris-baris sajakmu.
Malam sudah lunglai, pagi sebentar lagi sampai, tapi kau tahan
menyanyi dan bergoyang terus di celah-celah sajakmu.
Kau tampak sempoyongan, tapi kau bilang, "Aku tidak mabuk."
Mungkin aku harus lebih tabah menemanimu.

(2001)

(Pacarkecilku, Indonesiatera, Magelang, Cetakan Pertama, Mei 2002)



DANGDUT. Kata itu, kata yang mewakili salah satu jenis irama musik itu, jika dilacak ke akarnya, adalah nama yang mengandung niat olok-olok. Konon ia dicuplik dari lagu "Terajana" milik Rhoma Irama. Ada bagian baitnya yang berbunyi "....dangdut suara gendang, rasa ingin berdendang." Dari situlah dangdut, maksudnya kata dangdut, kemudian popular bahkan menggantikan sebutan Irama Melayu yang sebelumnya disandang oleh musik yang sama. Dulu lazim dipakai singakatan Orket Melayu (O.M) untuk grup musik pengusung musik berirama melayu yang kemudian jadi dangdut itu. sebutan O.M. kini tak lagi pernah dipakai.

YA, dangdut memang diambil dari penyederhanaan suara gendang itu. Dang dut dang dut dang dut. Dangdut akhirnya bukan sekadar musik. Musik dangdut adalah musik yang hidup dan mendapat tempat untuk berkembang dari daerah pinggiran. Masyarakat yang terpinggirkan. Tapi keberadaannya tak tertahankan. Dangdut adalah ekstasi. Adalah bius yang paling mudah didapat. Bius untuk melupakan sejenak beratnya tantangan kehidupan. Dangdut adalah manifestasi sikap ignoransi. Ketidakpedulian. Riang, duka, gembira, lara semua dibawakan dengan bergoyang. Goyang yang tak perlu aturan. Goyang yang perlu tatatari yang rumit. Lirik tidak penting. Penyanyi tidak penting. Grup musik tidak penting. Yang penting goyang itu sendiri. Goyang adalah ritual pembiusan. Goyang adalah laku sembahyang dari iman ignoransi.

SAMPAI sekarang dangdut masih kerap jadi bahan olok-olok. Sengaja atau tidak. Dan Joko Pinurbo mengingatkan bahwa olok-olok itu tidak perlu karena kita sesungguhnya kita ini adalah penggemar dangdut. Kita ini adalah dangdut. Mau atau tidak. Malu-malu atau terang-terangan. Kenapa kita ini sesungguhnya adalah penggemar dangdut? Karena, kita suka menggoyang-goyang dan memabuk-mabukkan kata. Kata yang jujur, kata yang tetap maknanya, digoyang. Digeser, agar maknanya menurut pada kita. Kita suka memabuk-mabukkan kata, sehingga kata yang sadar itu ngelantur, berkata ngelantur mengikuti kebohongan kita.

DALAM bahasa yang cerdas, Joko Pinurbo meringkas "kejahatan" atau "kejahilan" kita atas kata itu dengan bait sederhana, jenius, yang sangat efektif "...memburu dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut." Kata dangdut itu diuraikan, dimanfaatkan, diberi arti yang lebih luas. Memburu dang dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut. Dut adalah pemuncak. Dut adalah pelengkap. Dut adalah pemungkas dari bunyi. Sementara dang adalah pengantar. Dang adalah anak tangga menuju dut. Tapi, setelah berdang dang dang dang ah hidup sebagai orang pinggiran memang susah. Dut susah benar dicapai. Itulah kehidupan, bukan?

BAIT kedua masih menjanjikan penafsiran yang tak kalah dutnya. Maaf, saya masih dialun oleh gelombang dang pada bait pertama yang belum juga reda. Izinkan saya untuk menunda dulu sampai pada dut itu. Kalian capailah dut kalian sendiri. Dang. Dang. Dang.......